DetailNews.id – Mengenal Modernitas dan Kematian Manusia.
Oleh: Rusmin Hasan
Pegiat Literasi Sulawesi Utara.
Akar historis modernisme berawal dari jaman pencerahan, enlightement (1350-1600). Dalam era tersebut masyarakat Eropa membangkitkan kembali kebudayaan Yunani dan Romawi kuno. Dan banyak inspirasi rasional yang ditimba darinya sehingga kecenderungan berpikir dalam era tersebut mulai kegelapan dogmatis abad pertengahan yang dikuasai cara berpikir gereja. Faktor iman dan kepatuhan pada otoritas gereja mendapat porsi besar. Pada saat itu muncullah filsuf-filsuf kritis yang pemikirannya hingga kini menentukan irama jaman seperti Kant, Hegel, Marx, Comte, Nietzsche, Sartre dan sebagainya.
Suatu hal yang menentukan berkembangnya modernisme adalah peralihan filasafat dasar dari Theosentris kepada Antroposentris. Yang pertama dimaksudkan bahwa Tuhan menjadi sentra pemikiran kefilsafatan sementara yang terakhir menusia menjadi pusatnya. Dengan Theosentris manusia mengarahakan orientasi dan dasar hidupnya bagi kepenuhan hidup kerohaniahan untuk mencapai keselamatan jiwa, sementara yang terakhir manusia berusaha menggapai kelimpahan dan kenikmatan ketubuhan secara sporadis dan temporer. Hal ini dipersubur oleh pemikiran para filsuf yang merudusir peran transenden, seperti Comte yang yang memaklumkan kematian pengetahuan absolut, sebab tidak bisa diverifikasi, dan karena itu dianggap irasional. Sartre juga memeperlihatkan sikap skeptismenya: “….ada tidaknya Tuhan, tidak ada yang berubah karenanya”; Nietzsche dengan pikiran gilanya: God is dead, yang termanifestasikan dalam nihilismenya serta meramalkan lahirnya peradaban tanpa Allah. Tidak bias diabaikan juga Marx yang menatap sejarah sebagai dialektika pertentangan kelas dan mencemooh agama sebagai candu masyarakat.
Penggunaan rasio sebagai piranti melahirkan ilmu, pengetahuan dan teknologi merupakan prasyarat dasar bagi proyek modernitas. Magnis-Suseno [2]mencirikan masyarakat modern sebagai berikut:
Masyarakat modern pertama-tama adalah masyarakat yang berdasarkan industrialisasi. Industrialisasi menjadi darah daging masyarakat modern. Industrialisasi menjadi format dasar yang bukan hanya bidang ekonomi, melainkan seluruh kehidupan masyarakat, penghayatannya, way of life nya dan sebagainya.
Implikasi dari industrialisasi adalah perubahan total dan mendalam dalam gaya hidup manusia. Perubahan itu menyangkut semua bidang kehidupan dan yang paling mencolok adalah penciptaan jalur-jalur komunikasi lokal, regional dan global yang amat padat dan cepat. Sarana lalu lintas mengalami perkembangan revolusioner dan manusia difasilitasi mesin-mesin yang mempermudah pekerjaan.
Industrialisasi tingkat pertama sudah dilalui oleh negara-negara industri. Teknologi merupakan ilmu baru, yakni ilmu yang secara khusus yang meneliti kekuatan-kekuatan alam dengan maksud untuk memanfaatkanya bagi produksi industrial. Gelombang pasca-industri kiranya akan melahirkan masyarakat informasi.l
Masyarakat modern adalah masyarakat — yang kecuali dalam keadaan darurat dan luar biasa — tidak mengalami ketergantungan pada alam. Muncul kesan bahwa dengan otonomi rasionya apa saja bisa diciptakan manusia, serat semua masalah dapat dipecahkan.
Sementara itu, sumber-sumber masyarakat modern adalah:
Pertama, kapitalisme dan revolusi industri. Pelbagai bentuk ekonomi kapiltalis sudah dikenal sejak sebelum abad ke 17 yang ditandai munculnya kota-kota pelabuhan. Tetapi kapitalisme dalam arti khas sebagai suatu sistem yang merevolusikan perekonomian lahir di Eropa Barat adan Utara (Inggris, Belanda, Belgia, Perancis) dalam abad ke 17. Hakekat kapitalisme adalah bahwa tujuan produksi bukanlah konsumsi melainkan penambahan modal. Kapitalisme bersifat dinamis, sebab selalu berusaha memperluas produksi guna menguasai pasaran.
Kedua, penemuan subyektivitas modern. Dengan subyektivitas dimaksudkan bahawa manusia, dalam memandang alam, sesama dan Tuhan mengacu pada dirinya sendiri. Manusia dalam subyektivitasnya, dengan kesadarannya, serta keunikannya menjadi titik acuan pengertian realitas. Subyektivitas dalam konterks ini mengacu pada Hegel dan Sartre. Menurut Hegel (1770-1832) manusia itu bukan substansi, melainkan subyek. Substansi disini dimaksud sebagai kepadatan kebendaan, sebagai sesuatu yang berada di dunia ibarat sebongkah batu di tengah sawah. Sedangkan subyek adalah pusat kesadaran, kesadaran akan kesadaran, pusat yang secara kritis melawankan diri terhadap relaitas dan dunia. Manusia tidak sekedar “hadir” dalam dunia, melainkan hadir dengan “sadar”, dengan berpikir, dengan berefleksi serta mengambil jarak secar kritis dan bebas.
Ketiga, rasionalisme. Dengan rasio-nalisme dimaksud tuntutan agar semua klaim dan wewenang dipertanggungjawabkan secara argumentatif, tanpa pengandaian kepercayaan, jadi dapat diuniversalkan. Segi-segi rasionalisme: 1) Ciri pertama adalah kepercayaan terhadap kekuatan akal budi manusia. Segala hal harus dimengerti secara rasional. Suatu pernyataan hanya boleh diterima sebagai benar, dan sebuah klaim hanya dapat dianggap sah apabila dapat dipertanggungjawabkan secara rasional. 2) Penolakan tradisi, dogma dan otoritas di luar pemikiran rasional. Dalam bidang siosial politik, misalnya, rasionalisme menuntut kepemimpinan rasional. Pada bidang agama, klaim dogma tidak dapat begitu saja ditetapkan oleh otoritas religius. 3) Rasionalisme mengembangkan metode baru bagi ilmu, pengetahuan dan teknologi, yakni pengamatan dan eksperimen serta bertumpu pada dalil-dalil ilmiah. 4) Rasionalisme membawa serta sekularisme. Sekularisasi ialah suatu pandangan dasar dan sikap hidup yang dengan tajam membedakan antara Tuhan dan dunia sebagai sesuatu yang duniawi saja. Sekularisme menghilangkan unsur-unsur gaib dan keramat. Modernisme adalah sebuah proses yang amat ambivalen, yang akan berjalan terus entah kita menyetujuinya atau tidak. Betapa dilematisnya modernisme yang dikonstruksi atas kemajuan iptek dapat dicermati dari kegalauan Robert Morisson, pemikir teknologi terkemuka dari Massachusets. Ia berkisar: “They are so very good at getting you to Paris in three hours, but so very poor at telling you what to do when you get there” [3]
Kegalauan serupa juga dialami E.F. Schumacher, yang mendapatkan dirinya seakan-akan berada di negeri asing. Ortega Y. Gasset pernah mengatakan bahwa “kehidupan ditembakkan ke arah kita secara langsung”. Kita tak dapat mengatakan: “Tahan dulu. Tunggu setelah segala sesuatunya telah saya pilih dan perhitungkan!”
Keputusan-keputusan harus diambil sementara kita belum siap; tujuan-tujuan harus dipilih sementara kita belum melihat dengan jelas. Ini teramat ganjil, dan sekilas pandang, sangat tidak masuk akal. Rupa-rupanya manusia “diprogram” secara tidak memadai.
Fenomena modernisme, yang diyakini sebagai pilihan tepat membebaskan manusia dari situasi ketertinggalan, keterbelakangan, kemiskinan, kebodohan, meski dalam arti terbatas menunjukkan kemajuan yang cukup spektakuler, tetapi juga menyisakan persoalan-persoalan yang rumit dan kompleks. Penggunaan rasio yang melahirkan kemajuan iptek merupakan embrio ekspansi wilayah, imperialisme. Modernisme, dengan demikian, disamping menawarkan kemudahan-kemudahan bagi manusia, juga memproduksi model-model belenggu baru yang jauh lebih dahsyat. Peter L. Berger [4] mengisyaratkan bahwa modernisme yang dicirikan oleh kemajuan iptek tidak lebih dari ideologi yang menutup-nutupi kenyataan imperialisme, eksploitasi, dan ketergantungan.
Justifikasi pernyataan Berger ialah kenyataan lahirnya korelasi a-simetris antara bangsa barat yang menguasai dan mendominasi iptek dengan seperangkat nilai budayanya dengan bangsa Timur yang diberi atribut: underdeveloped countries atau eufemismenya, developing countries. Korelasi serupa inilah yang oleh Galtung dikatakan merupakan awal kekerasan, yakni situasi bilamana manusia dipengaruhi sedemikian rupa sehingga realisasi jasmani dan mental aktualnya berada di bawah realisasi potensial. Hal ini oleh Simon Weil digambarkan secara ekstrim: kekerasan adalah tindakan yang mereduksi seseorang atau kelompok menjadi barang. Tindakan terakhir dari reduksi itu ialah pembunuhan, yakni mereduksi seseorang menjadi mayat [5].
Secara garis besar ada dua paradigma yang saling bersaingan dalam menjelaskan dan menguraikan masalah kekayaan dan kemiskinan di antara bangsa-bangsa, yakni teori modernisasi dan imperialisme. Teori modernisasi dicirikan oleh pemakaian istilah-istilah: “modern”, “pembangunan”, “pertum-buhan ekonomi”, “diferensi institusional”, dan “pembangunan bangsa” (nation building). Sementara imperialisme cenderung memakai istilah: “ketergantungan”, “eksploitasi”, dan “neokolonialisme” serta “pembebasan” [6]. Saya mereduksi modernitas di sini sebagai fenomena pembangunan. Di sini diperlihatkan tergusurnya nilai-nilai etis dan moral oleh target pembangunan untuk mencapai kemajuan fisikal.
Berger meyakini bahwa pembangunan pada dasarnya adalah suatu persoalan. Persoalan terutama bagi pembuat kebijakan bagi kepentingan rakyat banyak di suatu negara.
Bercermin pada korelasi a-simetris antara bangsa Barat dan bangsa Timur, pembangunan tidak lebih dari slogan yang melicinkan jalan penguasaan wilayah. Imperialisme melahirkan perbudakan, perendahan martabat manusia. Nilai-nilai budaya Timur yang tradisional disingkirkan, digantikan budaya barat yang modern.
Pembangunan merupakan persoalan terutama karena meniscayakan pengorbanan. Demi kelancaran lalu lintas, perlulah menggusur tanah rakyat. Gedung-gedung pencakar langit, mall, swalayan, lapangan golf, dan sebagainya merupakan hasil sulapan lahan pertanian sehingga rakyat kehilangan pekerjaan. Hak rakyat terhempas oleh kesewenangan negara selaku pemegang otoritas tunggal pembangunan. Mohtar Mas’oed (1994) memperlihatkan bahwa pembangunan di bidang ekonomi mengandaikan pengorbanan politik. Pembangunan ekonomi mendasarkan diri pada sifat rasional, efisiensi, efektivitas dan pragmatisme. Semenjak Orde Baru hal ini ditambah dengan faktor stabilitas yang meminimalkan partisipasi dan aspirasi politik rakyat.
Heru Nugroho (1996) mencermati munculnya perilaku konsumtif di kalangan masyarakat dan generasi muda sebagai implikasi pembangunan ekonomi yang kian mengglobal. Bagi generasi muda hal ini terlihat pada kegandrungan terhadap budaya Barat seperti musik pop, gaya hidup ABG, gaya hidup instant dan sebagainya. Bahkan, perilaku konsumtif tersebut sudah mengarah pada hedonisme, yakni gaya hidup yang mengutamakan kenikmatan kebutuhan semata yang indikasinya adalah meningkatnya fenomena free sex, pemakaian obat-obat perangsang hingga tindak kriminal yang disulut oleh tidak terpenuhinya hasrat konsumtif secara wajar.
Tampaklah bahwa modernisme yang melahirkan “pembangunanisme” memi-nggirkan pertimbangan-pertimbangan etis sehingga menggusur nilai-nilai kemanusiaan. Harkat dan martabat manusia ditundukkan di bawah hasrat pemilikan harta dan kesenangan sesaat. Inilah indikasi yang oleh Louis Leahy (1989) disebut “kematian” manusia. Manusia tidak lagi dipandang sebagai suatu realitas ‘sui generis’ dan khas, yang lebih tinggi, unik dan absolut terhadap alam semesta. Jauh daripada memberi arti (signifikasi) kepada realitas ekstern, sebaliknya realitas itu sendirilah yang secara total menentukan kondisi manusia.
Langkah antisipasi terhadap persoalan tersebut di atas tentu tidak mudah, butuh pengorbanan dan waktu panjang. Tetapi, mengakomodasi nilai-nilai meta-ekonomi seperti kejujuran, keadilan, serta dihormatinya harkat dan martabat manusia merupakan salah satu alternatif yang mestinya sudah lama dirintis.