DetailNews.id – Bagaimana Tantangan dan Kiprah Ulama Perempuan Sulawesi Utara ?
Oleh : Dr. Rosdalina Bukido, M.Hum. (Ketua Umum PW Fatayat NU Sulawesi Utara)
Sabtu, 07 Agustus 2021 saya diundang oleh Tim Peneliti LP2M IAIN Manado (Dr. Arhanuddin Salim, M.Pd. dan Rahman Mantu, M.Hum.) pada kegiatan Focus Group Discussion (FGD) dengan tema Keulamaan Perempuan dan Otoritas Keagamaan di Manado “Literasi Keagamaan dan Sikap Kewargaan” bertempat di Hotel Luwansa Manado.
Hadir dalam FGD tersebut ulama perempuan di Kota Manado yang terdiri dari unsur akademik, organisasi kemasyarakatan, pesantren, dan ulama tabliq. Rahman Mantu memberikan pengantar seputar riset mereka dengan mengutip pendapat Prof. Azyumardi Azra bahwa ulama perempuan belum memiliki definisi yang baku, akan tetapi definisi tersebut bisa dinarasikan dengan melihat pada aspek kategori ulama perempuan. Kategorisasi ulama perempuan tersebut terjabarkan pada ulama tabliq, ulama di pesantren, organisasi sosial kemasyarakatan dan ulama akademisi di Perguruan Tinggi. Ulama perempuan di Siulawesi Utara khususnya di Manado telah menunjukkan loyalitas dan pengabdian mereka secara totalitas pada masyarakat. Mereka menyusuri jalan dan medan yang terjal dalam rangka melakukan dakwah keislaman pada masyarakat multi etnis, suku, agama dan budaya yang berdeda.
Perempuan Indonesia tidak hanya berperan dan bertugas secara domestik di rumah tangga, akan tetapi perannya di ranah publik juga dibutuhkan sebagai implementasi kesetaraan gender. Perempuan telah memiliki peran yang cukup besar dalam mencapai kemerdekaan Indonesia. Salah satu bukti bangkitnya perempuan Indonesia adalah ketika Kongres Perempuan pertama kali diselenggarakan pada tanggal 22 Desember 1928. Kesempatan perempuan untuk menjajaki ranah publik sebenarnya semakin terbuka lebar akibat munculnya semangat untuk mendorong kesetaraan gender dari organisasi internasional dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Hal tersebut ditegaskan dalam Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (Convention on the Elimination af All Forms of Discrimination Against Women) atau CEDAW yang ditetapkan pada 18 Desember 1979. Selanjutnya, Indonesia meratifikasi konvensi tersebut ke dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 1984 sebagai penegasan agar terwujudnya persamaan kedudukan antara laki-laki dan perempuan di Indonesia dengan menghapus praktik diskriminasi yang menghambat kemajuan perempuan (https://www.kemenpppa.go.id/index.php/page/read/31/1357/dinamika-pertumbuhan-srikandi-indonesia-di-sektor-publik).
Saat ini perempuan Indonesia telah menunjukkan kemampuan mereka baik pada sektor politik, pendidikan maupun pada sektor keagamaan. Pada sektor keagamaan, disinilah dibutuhkan kontribusi dan andil ulama perempuan dalam berkiprah di masyarakat. Ulama perempuan berpartisipasi dalam bentuk kegiatan majelis taklim, ceramah agama, membaca al-qur’an, dan diskusi lainnya. Peran-peran tersebut masih terfokus secara general pada kajian keagamaan saja. Seyogyanya ulama perempuan perlu melakukan adaptasi dan kreatifitas meramu materi dakwah dalam aspek sosial atau muamalat.
Perempuan akan menempati porsi dari quota pemerintahan 30 %. Keterwakilan perempuan memang penting untuk melahirkan kebijakan legislasi yang memiliki sensitivitas gender. Keterwakilan perempuan juga tidak cukup sebatas banyaknya persentase dari kuota kursi di parlemen. Namun, perempuan perlu mengisi jabatan-jabatan strategis di parlemen, baik itu pimpinan utama maupun pada AKD (alat kelengkapan dewan) di komisi-komisi (Sumber: https://mediaindonesia.com/politik-dan-hukum/259643/cukup-kejar-dulu-kuota-30-untuk-perempuan).
Perempuan harus memiliki kemampuan dan Sumber Daya Manusia yang mumpuni. Sehingga istilah dikotomi kemampuan bagi laki-laki dan perempuan itu bersifat equal. Saat ini, perempuan Indonesia harus menjadi pelopor penggerak bagi keluarga, lingkungan dan masyarakat. Perempuan harus menjadi contoh konkrit dalam pembangunan negara Indonesia menuju ketahanan keluarga yang utuh.
Salah satu aspek yang perlu dibutuhkan oleh perempuan-perempuan Indonesia sekarang ini adalah literasi pendidikan politik. Dilansir dari mediaindonesia.com, Fuad Fachruddin menegaskan bahwa pendidikan politik sering juga disebut pembelajaran politik (political learning) atau sosialisasi politik (political socialization) ialah proses pembentukan serta pengembangan sikap dan perilaku politik. Pendidikan politik tidak dibatasi dalam pengertian formal politik, seperti keterlibatan dalam kampanye partai politik dan memberikan suara dalam pemilihan umum atau pilkada (Adelabu dan Akinsolu: 2009; Orit: 2004).
Pendidikan politik memberikan seseorang pengetahuan dan keterampilan untuk memahami persoalan politik dalam pengertian yang luas, termasuk pengakuan dan penghargaan terhadap keragaman nilai sosial politik yang dianut seseorang dan kelompok (komunitas). Pendidikan politik menumbuhkan keterlibatan seseorang dalam diskusi politik dengan banyak orang; melakukan deliberasi tentang persoalan-persoalan kehidupan lainnya (luas). Pendidikan politik juga membuat seseorang mampu memberi pengaruh terhadap orang-orang tentang persoalan-persoalan politik (Adelabu dan Akinsolu: 2009; Clarke: 2007; Davies: 2005).
Dari pengertian tersebut, ada tiga misi atau fungsi utama pendidikan politik. Pertama, pendidikan politik ialah revitalisasi pemahaman tentang politik. Pendidikan politik bukan mengajarkan peserta didik tentang berapa kursi di badan legislatif, melainkan memberi pemahaman atau kesadaran kepada publik bahwa fungsi-fungsi kekuasaan itu sebagai a constitutive force, bagaimana pembagian kekuasaan, pertarungan kekuasan, serta bagaimana kekuasaan dimanfaatkan wakil rakyat dan untuk siapa (Ruitenberg, na; Dumas dan Dumas: 1996; Davies: 2005).
Kedua, pendidikan politik ialah pendidikan emosi politik (educating political emotion). Dalam hal ini, emosi bukan dalam pengertian private domain, yaitu perasaan pribadi atau kelompok yang didasarkan pada konsepsi identitas diri. Namun, emosi dipahami dalam konteks tatanan sosial politik atau kolektif politik, yaitu pandangan terhadap hubungan sosial yang hegemonik. Pendidikan kewargabangsaan yang berkaitan dengan kesukarelaan untuk berbuat sesuatu di masyarakat (Davies: 2005), kemampuan seseorang membaca landscape politik dalam konfigurasi pada era kini dan masa lalu (historisitas). Dalam pembelajaran politik, peserta didik didorong (enabling) memahami tatanan sosial dan politik melalui, misalnya, deliberasi tentang kebebasan, persamaan, dan relasi sosial yang hegemonik. (Sumber: https://mediaindonesia.com/opini/228181/memahami-substansi-pendidikan-politik).
Ulama perempuan di Sulawesi Utara masih memiliki pekerjaan rumah dalam rangka memaksimalkan perannya secara domestik dan publik. Bentuk partisipasi perempuan akan dapat mendorong perannya dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan menata kehidupan keluarga sebagai tatanan kehidupan sosial.