DetailNews.id – Sebuah video berdurasi singkat yang memperlihatkan ketegangan antara sopir becak motor (bentor) dan sopir ojek online (Grab) viral di media sosial. Peristiwa tersebut diduga terjadi di depan Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 1 Kotamobagu, Kelurahan Mongondow, Kecamatan Kotamobagu Selatan.
Video itu pertama kali diunggah melalui akun Instagram @xii.ach1evers, dan langsung menyita perhatian publik. Dalam rekaman, tampak seorang sopir bentor melontarkan kalimat bernada tinggi dan mengandung unsur intimidasi kepada sopir Grab yang datang menjemput penumpang.
“Da bilang sudah Jo ba muat, ngana brani ba muat kang?! Tampa-tampa bentor sini,” ucap sopir bentor itu dengan nada mengancam.
Namun, situasi tersebut mendapat reaksi cepat dari sejumlah siswa dan siswi MAN 1 Kotamobagu yang berada di lokasi. Mereka membela sopir Grab dan mengonfirmasi bahwa merekalah yang memesan layanan melalui aplikasi.
“Karena kami banyak, jadi tidak bisa pakai bentor,” jelas salah seorang siswi dalam video tersebut.
Insiden ini kembali membuka perdebatan soal konflik laten antara transportasi konvensional dan transportasi daring di daerah-daerah yang belum memiliki regulasi atau zona layanan yang jelas.
Warganet pun ramai-ramai menyayangkan sikap arogan oknum sopir bentor yang terkesan ingin mengklaim wilayah secara sepihak dan mengintimidasi pengguna transportasi berbasis aplikasi.
Sebagian menilai bahwa gesekan ini seharusnya sudah bisa diantisipasi melalui pendekatan regulasi dan mediasi oleh pihak pemerintah.
“Zaman sekarang semua serba digital, masyarakat harus bebas memilih layanan. Kalau masih begini terus, kapan majunya?” tulis salah satu komentar netizen di unggahan viral itu.
Hingga saat ini belum ada pernyataan resmi dari pihak Dinas Perhubungan Kota Kotamobagu maupun aparat kepolisian terkait insiden tersebut. Namun masyarakat berharap pemerintah kota segera mengambil langkah konkrit untuk mencegah konflik serupa terulang, khususnya di titik-titik rawan persinggungan antara dua moda transportasi.
Tanpa adanya zona operasional yang jelas, edukasi, dan dialog terbuka, gesekan semacam ini dikhawatirkan akan terus terjadi dan mengganggu kenyamanan serta hak masyarakat dalam memilih layanan transportasi.
Konflik antara moda transportasi daring dan konvensional bukan persoalan baru di Indonesia. Namun, setiap daerah memiliki karakter sosial dan kondisi lapangan berbeda. Karena itu, pendekatan penyelesaian harus mempertimbangkan aspek budaya lokal, perlindungan hak pelaku usaha, dan tentu saja, kepentingan pengguna layanan sebagai pihak utama yang harus dilindungi.
Peliput : Owen Bangki