spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
- Advertisment -spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
BerandaNewsKetika Hukum Menyentuh Adat: Moke dan Martabat Budaya Sikka

Ketika Hukum Menyentuh Adat: Moke dan Martabat Budaya Sikka

DetailNews.id, Sikka – Masyarakat Kabupaten Sikka kembali digemparkan oleh tindakan aparat kepolisian yang melakukan penyitaan terhadap moke, minuman tradisional hasil penyulingan yang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan adat masyarakat setempat.

Aktivis budaya dan pemerhati sosial, Siprianus Aba, menilai langkah aparat tersebut sebagai bentuk penegakan hukum yang tidak memahami makna budaya di balik tradisi moke. Menurutnya, moke bukan sekadar minuman beralkohol, melainkan simbol persaudaraan dan penghormatan yang memiliki peran penting dalam berbagai upacara adat masyarakat Sikka.

“Moke itu bukan hanya cairan hasil penyulingan. Ia adalah bagian dari ritual adat, tanda penghormatan, dan lambang persaudaraan. Jadi ketika aparat datang dan menyita tanpa dialog, itu sama saja dengan melukai hati dan martabat budaya masyarakat Sikka,” tegas Siprianus.

Selain bernilai budaya, moke juga memiliki peran signifikan dalam menopang ekonomi masyarakat desa. Banyak keluarga di wilayah pedesaan menggantungkan hidup dari produksi dan penjualan moke.

“Bagi sebagian warga, moke adalah sumber ekonomi utama. Dari hasil penjualannya, mereka bisa menyekolahkan anak, membeli kebutuhan rumah tangga, dan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Maka jangan lihat moke hanya dari sisi negatifnya, tapi pahami juga sebagai bagian dari solusi ekonomi rakyat kecil,” tambahnya.

Siprianus menilai tindakan penyitaan yang dilakukan aparat justru tidak menyelesaikan masalah, melainkan berpotensi memperburuk kondisi sosial dan ekonomi masyarakat.

“Kalau Polres Sikka ingin menertibkan, lakukan dengan pembinaan, bukan penyitaan. Bantu rakyat memperbaiki mutu produksi, buat regulasi yang jelas, dan berikan izin yang legal. Moke bisa menjadi kekuatan ekonomi dan budaya kalau dikelola dengan bijak,” ujarnya.

Lebih lanjut, Siprianus mengingatkan bahwa langkah aparat seharusnya berpijak pada semangat konstitusi. Ia menegaskan bahwa UUD 1945 Pasal 32 ayat (1) menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya. Sementara Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan menekankan pentingnya perlindungan dan pemberdayaan kebudayaan daerah.

“Kalau aparat menegakkan hukum tanpa memahami amanat konstitusi ini, maka hukum kehilangan rohnya. Jangan sampai hukum berdiri di atas budaya, karena sejatinya hukum dibuat untuk melindungi budaya dan rakyat,” tuturnya.

Peliput : Aba

RELATED ARTICLES

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
- Advertisment -spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
- Advertisment -spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
- Advertisment -spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
- Advertisment -spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
- Advertisment -spot_imgspot_imgspot_img

Most Popular

Recent Comments