DetailNews.id, Tarakan – Angka kebutuhan hidup layak (KHL) nasional kembali membuka fakta ketimpangan biaya hidup antarwilayah. Koordinator Wilayah Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KORWIL KSBSI) Kalimantan Utara, Raden Yusuf, menilai kondisi ini menjadi sinyal kuat bahwa kebijakan pengupahan tidak bisa lagi diseragamkan, tanpa mempertimbangkan realitas geografis dan ekonomi daerah.
Data hasil perhitungan Kementerian Ketenagakerjaan bersama Dewan Ekonomi Nasional (DEN) dan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, beban biaya hidup layak tertinggi masih terkonsentrasi di kota-kota besar serta wilayah kepulauan yang bergantung pada jalur distribusi logistik.
Faktor akses, transportasi, dan ketersediaan barang menjadi penentu utama mahalnya kebutuhan hidup.
DKI Jakarta berada di posisi teratas dengan KHL mencapai Rp 5,89 juta per bulan. Angka tersebut mencerminkan tingginya biaya perumahan, transportasi, dan konsumsi harian di ibu kota. Di bawahnya, Kalimantan Timur mencatat KHL Rp 5,73 juta, diikuti Kepulauan Riau Rp 5,71 juta yang dipengaruhi mahalnya distribusi barang antarpulau.
Wilayah timur Indonesia turut mendominasi kelompok teratas. Papua mencatat KHL Rp 5,31 juta, Bali Rp 5,25 juta, dan Papua Barat Rp 5,24 juta.
“Ini menunjukkan tantangan geografis masih berdampak langsung pada mahalnya harga kebutuhan pokok,” ujar Raden, Jumat (19/12/2025).
Kalimantan Utara menempati peringkat ketujuh nasional dengan KHL Rp 4,96 juta. Meski tidak setinggi DKI Jakarta, provinsi perbatasan ini menghadapi persoalan serupa, terutama keterbatasan infrastruktur dan panjangnya rantai distribusi.
Raden menilai, data KHL ini penting dibaca bersama kondisi upah di daerah. Di Kalimantan Utara, Upah Minimum Provinsi (UMP) 2025 ditetapkan sebesar Rp 3.580.160, naik 6,5 persen atau sekitar Rp 218.455 dari tahun sebelumnya. Namun, selisih yang cukup jauh dengan angka KHL menunjukkan masih adanya jarak antara upah dan kebutuhan hidup layak pekerja.
“KHL ini seharusnya menjadi alarm bagi pembuat kebijakan. Upah minimum tidak cukup hanya naik secara persentase, tetapi harus mendekati biaya hidup riil di daerah,” tegasnya.
Ia menambahkan, penggunaan Standar Organisasi Buruh Internasional (ILO) dalam perhitungan KHL yang berbasis data konsumsi rumah tangga BPS menjadi langkah maju. Pendekatan ini diharapkan mampu menghadirkan kebijakan pengupahan yang lebih adil dan kontekstual, khususnya bagi pekerja di wilayah dengan biaya hidup tinggi.
Peliput : Amin





