Detailnews.id – Network For Indonesian Democratic Society (Netfid) Indonesia mengikuti Asia Democracy Assembly 2022 (7-8 November 2022)
Agenda yang diselenggarakan oleh Asia Democracy Network atau Jaringan Demokrasi Asia (ADN) di Bali tersebut diikuti oleh lebih dari 40 Negara di Asia.
Agenda ini merupakan agenda yang rutin digelar oleh AND dalam rangka memicu diskusi untuk membahas kondisi demokrasi di Asia.
Asia Democracy Assembly kali ini mengangkat tema “ Meningkatkan konsolidasi untuk mengatasi tantangan demokrasi di Asia, RISE Asia memusatkan pada kekuatan narasi dan ekspresi kreatif melawan ketidakadilan,disinformasi, dan memproklamirkan demokratisasi yang berkelanjutan.
Try Sutrisno selaku perwakilan dari Netfid Indonesia menuturkan bahwa agenda ini merupakan pertemuan yang sangat baik dari segi peningkatan kapasitas jejaring advocat civil society maupun penggerak organisasi non pemerintah (NGO) yang kosentrasi dalam perwujudan demokrasi yang berkualitas.
“Ada banyak aktivis dengan berbagai latar belakang organisasi dari negara yang berbeda hadir dan berdiskusi dalam agenda ini, ini tentu saja hal baik bagi seluruh peserta termasuk saya secara pribadi, di mana saya dapat bertukar gagasan dengan peserta lainnya terkait kondisi demokrasi” ujar Try.
Pria yang juga aktif di NGO Climate Institute ini melanjutkan bahwa, kendati permasalahan dalam pelaksanaan demokrasi di Indonesia dianggap tak seburuk negara lain di Asia seperti krisis kudeta militer di Myanmar yang mengakibatkan pembantaian masyarakat sipil, atau kondisi otoritariat yang terjadi di Hongkong, kenyataannya masih banyak catatan yang perlu kita argumentasikan dalam pelaksanaan demokrasi di Indonesia.
Melalui sesi Rise Hudle, Try menuturkan bahwa masih ada yang dilewatkan dalam diskursus yang dihadirkan dalam agenda ini khususnya bagaiman kondisi lingkungan hidup dalam negara yang menganut sistem demokrasi, sebab Indonesia sendiri memiliki masalah yang cukup serius terkait kerusakan lingkungan dan bencana alam.
Indonesia dan Filipina merupakan dua dari lima negara yang menempati urutan teratas dalam urusan bencana alam. Hal ini bukan sekedar dari factor alam, justru hal ini berhubungan erat dengan ulah manusia (anthropogenic) sebagai akibat dari minimnya kebijakan yang mendukung keberlangsungan lingkungan hidup yang berkuallitas. Meski demikian dalam pelaksanaan pemilu, hampir tak ada satupun peserta pemilu yang mengkampanyekan isu lingkungan hidup, mulai dari kandidat capres-cawapres, partai pemilu, dan perseorangan. Bahan kampanye yang digunakan juga masih merupakan bahan yang sulit terurai, bahkan tak sedikit yang menggunakan pohon sebagai sarana untuk memasang atribut kampanye. Demikian halnya logistic pemilu yang digunakan oleh penyelenggara, faktanya dalam menentukan pemenang lelang perusahaan pengadaan logistic pemilu, belum mengedepankan factor ramah lingkungan.
“Maka tak heran, jika kemudian output pemilu 2019 baik eksekutif maupun legislatif justru menghadirkan kebijakan yang menjadi legitimasi bagi elit politik untuk mengeksploitasi lingkungan. Contoh kasus terbitnya izin tambang yang diberikan kepada PT Tambang Mas Sangihe untuk melakukan aktivitas pertambangan di Pulau Sangihe Provinsi Sulawesi Utara yang luasan projectnya mencapai setengah dari luas keseluruhan pulau Sangihe. Ironisnya, izin tersebut terbit hanya 7 bulan setelah Undang-undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara disahkan”. Lanjut Try
Perlu diketahui Bersama bahwa PT TMS mengantongi kontrak karya pertambangan emas di paruh selatan Pulau Sangihe seluas 42.000 hektar. Wilayah itu lebih dari setengah luas Pulau Sangihe beserta pulau kecil di sekitarnya, yaitu 73.698 hektar. Itu berarti perusahaan akan mengeksploitasi emas dan tembaga di enam kecamatan yang terbagi menjadi 80 kampung selama 33 tahun, terhitung dari 29 Januari 2021 hingga 28 Januari 2054.
Masyarakat Sangihe yang hidup dari hasil alam (perkebunan dan laut) hingga saat ini masih melakukan protes keras. Masyarakat di kepulauan seperti Sangihe selain menghadapi ancaman dari aspek ekologi karena pengaruh krisis iklim, berubahnya musim penangkapan, hilangnya lahan penduduk di pesisir karena abrasi, banjir rob dan ancaman kenaikan permukaan air laut serta keterancaman sumber pasokan pangan, namun juga menghadapi dari aspek politik dan kebijakan pengelolaan sumber daya alam terkait perizinan tambang.
“Masalah yang dihadapi masyarakat Sangihe adalah buah dari disahkannya UU Minerba yang baru yakni UU Nomor 3 Tahun 2020 yang salah satu ketentuannya adalah izin pertambangan menjadi wewenang pemerintah pusat termasuk pengawasan serta tanggung jawab dampak pertambangan (Pasal 4 ayat 2), selain itu tanggung jawab dampak kerusakan lingkungan justru dikurangi, seperti pada pasal 96 yang membuat perusahaan tambang kini dapat memilih salah satu proses rehabilitasi lingkungan, yakni reklamasi atau pasca tambang. Jaminan perpanjangan izin tambang pun makin dipermudah demi peningkatan penerimaan Negara (Pasal 169 A), bahkan izin keamanan juga diberikan, seperti yang dimuat pada Pasal 162 bahwa jika ada orang yang dinilai mengganggu atau merintangi kegiatan usaha pertambangan, diancam dengan sanksi pidana apapun alasannya” jelas Try.
Akan sangat disayangkan jika kita melihat praktek demokrasi di Indonesia dari segi pencapaian penyelenggaraan pemilu saja, sebab kita harus melihat lebih banyak lapisan seperti minimnya upaya perlindungan lingkungan hidup.
Try menutup bahwa, kiranya melalui agenda seperti ini, permasalahan seperti yang dialami masyarakat Sangihe dapat dilihat sebagai masalah bersama dalam prakter demokrasi kita.