DetailNews.id – Di bawah langit biru dan terik matahari pagi, dua perempuan berdiri tegak di Alun-alun Boki Hontinimbang, Kota Kotamobagu. Mereka tak berteriak, tak berorasi. Namun pesan mereka menggema: “Jangan Lupakan Gaza”, “Gaza Masih Berdarah”, dan “Genosida Masih Belum Berhenti”.
Sri Paputungan dan Citra Tomaili, dua warga Kotamobagu, memilih bentuk protes sunyi tanpa kerumunan, tanpa mikrofon untuk menyampaikan solidaritas kemanusiaan terhadap rakyat Palestina.
Sejak pukul 09.00 hingga 11.00 WITA, mereka berdiri di bawah terik matahari, membentangkan spanduk sederhana bertuliskan pesan-pesan kuat. Wajah mereka tertutup masker, kepala dilindungi topi putih, dan di leher tersemat syal Palestina. Aksi berlangsung tanpa suara, tapi tak bisa diabaikan.
“Aksi ini bentuk kepedulian kami, sebagai pengingat bahwa sampai detik ini Gaza masih dijajah, ditindas, dan dibantai,” tutur Sri Paputungan dengan suara bergetar.
“Kami ingin menyiram kembali kepedulian yang mulai layu, agar orang-orang sadar bahwa di sudut dunia sana ada saudara kita yang masih berjuang untuk hidup.”
Sementara itu, Citra Tomaili menegaskan bahwa meski mereka hanya dua orang di kota kecil, pesan mereka bisa menembus batas.
“Kami ingin menunjukkan bahwa dari kota kecil pun, suara kemanusiaan bisa menggema. Harapan kami, siapa pun yang melihat aksi ini, bisa menumbuhkan kembali empati entah lewat doa, donasi, atau menolak produk yang berafiliasi dengan penindasan.”
Sejak invasi besar Israel ke Jalur Gaza pada Oktober 2023, lebih dari 40 ribu warga Palestina dilaporkan tewas, mayoritas di antaranya adalah perempuan dan anak-anak. Ratusan ribu lainnya hidup sebagai pengungsi di tanah sendiri, tanpa akses memadai ke makanan, air bersih, listrik, maupun layanan kesehatan.
Blokade dan serangan yang terus berlangsung telah meluluhlantakkan infrastruktur Gaza. Amnesty International menyebut situasi tersebut sebagai bentuk apartheid modern.
Di tengah kenyataan itu, aksi sunyi dua perempuan Kotamobagu seolah menjadi suara hati yang menyusup ke sela hiruk-pikuk kehidupan.
Sejumlah warga yang melintas terlihat memperlambat langkah. Ada yang berhenti membaca spanduk. Beberapa hanya menatap sesaat, lalu kembali melanjutkan aktivitas.
Namun keberadaan Sri dan Citra tak mudah dilupakan.
Aksi ini mungkin kecil dalam ukuran fisik, namun besar dalam makna. Di tengah lalu lintas kendaraan, tawa anak-anak yang bermain, dan riuhnya pedagang asongan, aksi diam dua perempuan itu justru berbicara lebih lantang.
Tulisan berwarna merah menyala di atas kain putih kontras dengan langit biru Kotamobagu, seolah berkata: “Jangan biarkan luka ini dilupakan.”
Bagi Sri dan Citra, aksi ini bukan sekadar ekspresi simpati, tapi juga pengingat moral bahwa tragedi kemanusiaan di Palestina tak boleh menjadi rutinitas pemberitaan yang dilupakan.
Dan mungkin, dari sudut tenang di sebuah kota kecil di Sulawesi, lahirlah secercah cahaya. Cahaya yang membawa harapan bahwa di tengah dunia yang kerap membisu, masih ada hati yang bergetar oleh penderitaan orang lain.
“Selama kepedulian tetap hidup, harapan tak akan pernah padam,” tutup Sri lirih, sebelum mereka melipat kembali spanduk dan berjalan perlahan meninggalkan alun-alun.
Peliput : Owen Bangki