spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
- Advertisment -spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
BerandaNewsDihukum Bahkan Dibunuh Karena Mencari Kebenaran Informasi

Dihukum Bahkan Dibunuh Karena Mencari Kebenaran Informasi

Mereka yang menggunakan Undang-Undang Hak atas Informasi di India untuk mencari akuntabilitas publik, menghadapi segala macam hambatan hingga ancaman pembunuhan.

Reportase Sabah Gurmat, seorang jurnalis independen yang saat ini tinggal di Mumbai, India.

Terjemahan oleh : Try Sutrisno, Ketua Netfid Minahasa

Detailnews.id – Mahesh Boricha tidak bisa tidur di malam hari. Dia dihantui oleh peristiwa kekerasan yang menjadi penyebab kematian ayahnya pada 2 Maret 2021. Pada hari itu, ada 10 pria yang membawa senjata tajam berupa pisau, pedang, dan pipa besi. Orang-orang tersebut menyerbu ke rumah keluarga Boricha dan menyerang ayahnya, Amrabhai. Pria berusia 50 tahun itu tewas, sementara Nirmala, saudara perempuan Mahesh, terluka.

Amrabhai Boricha dikenal sebagai aktivis yang getol menyuarakan pemenuhan Hak atas Informasi/ Right to Information (RTI) di desa kecil mereka di negara bagian Gujarat, India barat. Dia berselisih dengan orang-orang yang kelak menyerangnya. Perselisihan muncul dari pekerjaan RTI Amrabhai tentang hak atas tanah untuk kasta yang terpinggirkan seperti Dalit, di mana ia menjadi bagian dari orang yang memperjuangkan hak tersebut. Tetapi dia juga telah menerima ancaman karena kegiatan RTI lainnya, yang membuatnya mencari perlindungan polisi. Awalnya, anggota Polisi Cadangan Negara ditugaskan untuk melindunginya. Pada saat dia dibunuh, dia telah didukung untuk perlindungan kepada “Gram Rakshak Dal jawans” atau sukarelawan pertahanan desa.

Percaya pada nilai pekerjaan ayahnya, Mahesh beralih dari kontraktor swasta yang mengerjakan projek kereta api di India menjadi aktivis RTI. Pada akhirnya ia membawa lebih dari beban warisan sang Ayah di pundaknya.

“Saya menghadapi banyak tekanan dalam pekerjaan ini,” kata Mahesh.

“Saya berhenti dari pekerjaan saya dan sekarang mengurus lahan pertanian kecil apa pun yang kami miliki sehingga saya juga dapat mengikuti jalan yang telah ditunjukkan oleh ayah saya. Pekerjaan RTI saya masih berlangsung, (meski) saya sadar bahwa saya  bisa saja terbunuh kapan saja. Ketika Anda melawan sistem, selalu ada ketakutan.” Lanjutnya

Sebenarnya, nasib tragis ayahnya bukanlah hal yang aneh. Sejak dimulainya Undang-Undang Hak atas Informasi India pada tahun 2005, setidaknya 479 orang telah mengalami tindak kekerasan, dan pelecehan, bahkan terbunuh dalam upaya pencarian mereka mendapatkan informasi dari otoritas publik dan badan administratif negara tersebut. Beberapa lainnya dilaporkan telah “dilarang seumur hidup” – termasuk satu dihukum secara finansial – dari mencari informasi dari pemerintah dan lembaganya.

Memang, hampir 20 tahun setelah orang India memuji pemberlakuan undang-undang yang menegaskan kembali nilai transparansi dalam pemerintahan, pihak berwenang baik lokal maupun nasional sekarang berusaha keras dan menghukum mereka yang mencoba menerapkan undang-undang tersebut.

Aktivis dan juru kampanye transparansi Anjali Bhardwaj mengatakan bahwa “larangan” telah mengambil bentuk yang berbeda. “Salah satunya adalah bahwa seseorang telah diberitahu bahwa untuk selanjutnya ada larangan mencari informasi,” katanya. “Ada beberapa kasus di mana departemen terkait atau otoritas publik dari mana informasi dicari telah diberitahu oleh otoritas di atas bahwa mereka tidak perlu menjawab pertanyaan ini lagi. Jadi ada perintah yang berbeda untuk orang yang berbeda, tetapi secara efektif menghalangi hak orang atas informasi.”

Bhardwaj menekankan bahwa ini adalah perintah yang “benar-benar ilegal” karena tidak ada ketentuan di bawah undang-undang RTI India untuk memberdayakan komisi informasi untuk melakukan ini.

“Hak atas informasi merupakan hak fundamental,” katanya. “Kecuali ada sesuatu yang dikecualikan berdasarkan undang-undang atau dapat dibuktikan bahwa informasi yang dirahasiakan ini termasuk dalam Bagian 8 Undang-Undang – yang mengatur kondisi khusus di mana informasi tidak dapat diungkapkan – diluar dari kondisi tersebut maka informasi harus diberikan.”

TUNTUTAN AKAN KETERBUKAAN INFORMASI MENEMUI BANYAK RINTANGAN

UU RTI mulai berlaku setelah gerakan rakyat yang berlangsung lama, yang dipimpin oleh organisasi rakyat seperti Mazdoor Kisan Shakti Sangathan (MKSS), menuntut adanya undang-undang transparansi. Menurut ketentuan undang-undang, setiap warga negara India diizinkan untuk memperoleh informasi dari “otoritas publik”, di mana informasi tersebut harus diberikan oleh kantor atau departemen negara bagian dalam jangka waktu tertentu.

Namun dalam beberapa tahun terakhir, ada  beberapa hambatan. Politisi, lembaga pemerintah, dan pengadilan telah memperlunak ketentuan undang-undang tersebut. Penunjukan penting telah ditunda, dan permohonan informasi oleh warga telah ditolak secara sewenang-wenang.

Bhardwaj adalah salah satu koordinator Kampanye Nasional Hak Rakyat atas Informasi. Dia mengatakan bahwa setiap tahun, sekitar empat hingga enam juta aplikasi RTI diajukan di seluruh India, “yang sebenarnya merupakan jumlah tertinggi dibandingkan Negara mana pun secara global.” Dia mengatakan bahwa penelitian mereka menunjukkan bahwa sebagian besar aplikasi RTI ini oleh orang-orang yang bertanya tentang hak-hak dasar mereka, dan melibatkan segala macam masalah seperti ransum, pensiun, pasokan air, obat-obatan, dan rumah sakit.

“Banyak informasi yang dicari juga untuk meminta pertanggungjawaban pejabat tertinggi,” kata Bhardwaj. “Jadi orang bertanya tentang dana PM Cares (dari mana uang itu berasal dan ke mana perginya), orang bertanya tentang obligasi pemilu, korupsi, Rafale (jet untuk angkatan udara), dan sebagainya. Jadi ada dorongan dan reaksi terhadap hukum dan mereka yang berusaha menggunakannya, telah menggunakan berbagai macam cara.”

Amita Mishra, yang dulunya merupakan seorang Guru Sekolah ini misalnya, sekarang ia termasuk di antara mereka yang “dilarang seumur hidup” menggunakan haknya untuk mencari informasi. Mishra, yang pernah menjadi guru di sebuah sekolah semi-pemerintah di distrik Gandhinagar di negara bagian Gujarat, mengatakan bahwa dia telah menghadapi pelecehan sejak pengangkatannya di sana pada tahun 1996. Dia yakin dia dilecehkan karena rekan-rekannya tidak menyukai caranya melakukan sesuatu, dan kemudian karena mereka ingin menghentikannya dalam memperoleh senioritas mengajar. Tetapi hanya setelah kasus diajukan terhadapnya, Mishra justru memilih untuk mendedikasikan perjuangannya untuk memperjuangkan ha katas informasi dan mulai mengajukan RTI.

Dari 2017 hingga saat ini, Mishra telah mengajukan hampir 40 aplikasi RTI, termasuk mencari informasi tentang gaji dan buku layanannya. Dia menuduh bahwa orang tua yang bersekongkol dengan pihak administrasi sekolah yang menggugatnya dengan tuntutan pidana “upaya pembunuhan” terhadapnya dengan dalih ia dituduh memberikan ancaman kepada seorang murid.

Namun Mishra mengatakan bahwa ketika dia mencari transparansi dalam masalah ini, petugas informasi publik tidak menjawab pertanyaan RTI-nya dan malah mencatat bahwa dia “keras kepala” dan “melecehkan institusi tempat dia bekerja.” Juga diklaim bahwa Mishra “memiliki kebiasaan membuat tuduhan palsu” dan menyalahgunakan sistem dengan mencari informasi yang sama berulang kali.

BAHKAN UNTUK SEKEDAR MENGAJUKAN PERTANYAAN MENGAKIBATKAN HAL YANG FATAL!

Tetapi banyak orang lain yang mencoba mengirimkan kueri RTI menanggung penderitaan bahkan melebihi dari larangan seumur hidup untuk mengakses informasi. Juni 2022 lalu, Ranjeet Soni ditembak mati di dalam kompleks kantor pemerintah lokal di negara bagian Madhya Pradesh, pusat jantung India. Soni, yang merupakan seorang kontraktor di departemen pekerjaan negara, telah mengajukan aplikasi RTI untuk mendapatkan informasi tentang pengeluaran pemerintah dan indikasi korupsi di departemen pekerjaan umum. Melalui karyanya, ia memperoleh perincian yang berkaitan dengan pembangunan jalan, pendanaan dan alokasi di rumah sakit pemerintah, dan wawasan penting lainnya tentang pengeluaran sektor publik.

Dua bulan setelah kematian Soni, seorang aktivis lainnya terbunuh setelah dia menggunakan hukum RTI untuk mengambil konstruksi ilegal oleh pembangun lokal, kali ini di negara bagian Gujarat bagian barat. Hingga saat ini, setidaknya 100 aktivis RTI telah dibunuh, 182 RTI diserang, dan 188 dilecehkan atau menerima ancaman serius.

Anjali Bhardwaj dan aktivis hak lainnya telah meminta Komisi Informasi tingkat negara bagian untuk mencoba mempublikasikan kasus-kasus yang diajukan oleh aktivis RTI yang dibunuh atau diancam. Paling tidak, menurut mereka, ini akan memastikan pengawasan publik yang lebih besar terhadap isu-isu yang sedang diselidiki oleh para aktivis yang terbunuh.

Sumber : Commonwealth Human Rights Initiative, The Wire, Statista

Tetapi Bhardwaj mencatat bahwa telah terjadi “serangan langsung” terhadap komisi informasi ini, yang mengancam akan melemahkan undang-undang RTI. “Salah satunya adalah bahwa penunjukan tidak dibuat untuk komisi informasi,” kata Bhardwaj. “Pemerintah pusat belum menunjuk satu pun komisioner informasi di Komisi Informasi Pusat dalam delapan tahun terakhir, sampai seseorang mempertanyakannya pengadilan.”

“Ada upaya yang sangat jelas untuk tidak menunjuk komisioner di komisi informasi selama mungkin,” lanjutnya, “yang berarti bahwa banding dan pengaduan masyarakat terus tertunda, dan mereka harus menunggu untuk waktu yang sangat lama bahkan untuk mendapatkan kasus mereka didengar. . Jadi ini adalah masalah yang sangat besar.”

Karena itu, komisi informasi tidak aktif dan gagal menegakkan akuntabilitas apa pun. Sementara itu, amandemen undang-undang RTI tahun 2019 telah memungkinkan pemerintah pusat untuk memberdayakan dirinya sendiri untuk menetapkan gaji mereka yang berada di komisi informasi, memperlakukan komisi seperti pendampingan pemerintah. Bagi para pembela hak, ini telah menghancurkan independensi komisi.

“Seluruh tujuan komisi informasi adalah bahwa jika pemerintah tidak ingin membagikan informasi yang tidak nyaman karena menunjukkan misgovernance atau kesalahan atau bahkan untuk menyembunyikan jejak tindak korupsi, maka orang dapat melaporkannya ke komisi informasi. Jadi komisi informasi harus tetap independent dan jauh dari interfensi pemerintah.”

Banyak warga India menyadari pentingnya nilai transparansi dalam pemerintahan. Setiap tahun, sekitar empat hingga enam juta aplikasi pemohon Hak atas Informasi diajukan di seluruh negeri. (Foto: PradeepGaurs/Shutterstock.com)

Meski tak ia pungkiri bahwa terkadang ada perasaan takut, Mahesh Boricha telah menggunakan undang-undang RTI untuk menciptakan dampak di tingkat mikro. Dia menceritakan dengan sedikit bangga, “Seorang hakim distrik baru-baru ini diskors oleh pengadilan tinggi Gujarat setelah saya mengajukan RTI hanya untuk mengetahui berapa banyak kasus kekejaman kasta dan kekerasan kasta dari 2015 hingga 2022 yang telah diberikan oleh jaksa dan pengacara khusus kepada para korban secara cuma cuma.”

RELATED ARTICLES

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
- Advertisment -spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
- Advertisment -spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
- Advertisment -spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
- Advertisment -spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
- Advertisment -spot_imgspot_imgspot_img

Most Popular

Recent Comments