Notice: Fungsi _load_textdomain_just_in_time ditulis secara tidak benar. Pemuatan terjemahan untuk domain td-cloud-library dipicu terlalu dini. Ini biasanya merupakan indikator bahwa ada beberapa kode di plugin atau tema yang dieksekusi terlalu dini. Terjemahan harus dimuat pada tindakan init atau setelahnya. Silakan lihat Debugging di WordPress untuk informasi lebih lanjut. (Pesan ini ditambahkan pada versi 6.7.0.) in /home/detw3611/public_html/wp-includes/functions.php on line 6121
Gugatan Berdasarkan Surat Wasiat Tulis Tangan, Warga di Bolmong Terancam Kehilangan Tanah dan Rumah - Detail News
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
- Advertisment -spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
BerandaBolmongGugatan Berdasarkan Surat Wasiat Tulis Tangan, Warga di Bolmong Terancam Kehilangan Tanah...

Gugatan Berdasarkan Surat Wasiat Tulis Tangan, Warga di Bolmong Terancam Kehilangan Tanah dan Rumah

DetailNews.id – Puluhan warga dari Desa Gogaluman dan Tiberias, Kecamatan Poigar, Kabupaten Bolaang Mongondow (Bolmong), Provinsi Sulawesi Utara, kini tengah menghadapi ancaman serius kehilangan tanah dan rumah yang telah mereka tempati selama puluhan tahun.

Ancaman ini muncul menyusul gugatan perdata yang diajukan oleh seseorang bernama Patra Massie, yang mengklaim sebagai ahli waris berdasarkan selembar surat wasiat tulisan tangan dari nenek buyutnya. Gugatan tersebut berujung pada putusan Pengadilan Negeri Kotamobagu Nomor 97/Pdt.G/2022/PN Kotamobagu, yang menyatakan tidak sah surat panitia landreform dan berakibat pada pembatalan Sertifikat Hak Milik (SHM) milik warga.

Pembatalan SHM dokumen hukum yang menjadi bukti kepemilikan sah dan sempurna atas tanah menuai kecaman dari warga dan tim kuasa hukum mereka. Kantor Hukum Dr. Michael Hans & Associates (MHANSLaw) dalam keterangan pers menyebut putusan tersebut sebagai bentuk pengabaian terhadap perlindungan hukum bagi masyarakat kecil yang telah mengelola tanah secara turun-temurun.

“Ini adalah bentuk ketidakadilan yang nyata. Warga memiliki SHM hasil dari proses landreform sejak 1970, yang saat itu diberikan karena lahan tidak dikelola. Namun kini, berdasarkan klaim sepihak dan surat wasiat yang tidak diuji validitas historisnya, mereka bisa kehilangan hak atas tanah,” ujar Michael Hans, S.H., M.H., selaku kuasa hukum warga.

Tanah yang disengketakan merupakan bagian dari program landreform yang dijalankan pemerintah di era 1970-an. Saat itu, warga diberikan hak untuk menggarap lahan terlantar dengan persetujuan pemerintah setempat. Dalam perjalanannya, lahan tersebut dikelola, dibangun, bahkan telah bersertifikat resmi melalui proses di Badan Pertanahan Nasional (BPN).

Namun klaim dari penggugat yang mengacu pada surat wasiat kuno, dianggap mengabaikan fakta sejarah dan keberadaan SHM. Bahkan sebagian besar tanah yang digugat saat ini telah memiliki sertifikat resmi selama puluhan tahun.

Dalam persidangan, saksi ahli hukum agraria dan administrasi negara, Prof. Dr. Sri Winarsi, S.H., M.H., menilai putusan tersebut cacat secara hukum. Ia menegaskan bahwa keputusan landreform adalah Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) yang seharusnya ditangani oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), bukan Pengadilan Negeri.

“Gugatan terhadap keputusan yang telah berusia lebih dari 50 tahun jelas sudah kedaluwarsa. Apalagi, SHM adalah bukti kepemilikan kuat dan sah, yang tidak bisa dibatalkan sembarangan, apalagi hanya dengan klaim wasiat tanpa proses administrasi yang sah,” tegas Prof. Winarsi.

Ia juga menambahkan bahwa dalam sistem hukum pertanahan Indonesia, SHM memiliki kekuatan hukum lebih tinggi dibandingkan dokumen tidak resmi seperti surat wasiat tulisan tangan.

Putusan pengadilan tersebut menimbulkan kegelisahan mendalam di kalangan warga yang sebagian besar berprofesi sebagai petani dan nelayan. Rumah dan kebun yang selama ini menjadi tumpuan hidup kini terancam lenyap akibat gugatan yang mereka nilai tidak adil dan sewenang-wenang.

“Kami hanya ingin keadilan. Tanah ini adalah warisan keluarga dan satu-satunya sumber penghidupan kami. Jika hilang, kami tidak tahu harus ke mana lagi,” kata Alfrits Tamahiwu, salah satu perwakilan warga terdampak, didampingi Youtje Langoy dan Aghusta Manoppo.

Masyarakat berharap agar putusan PN Kotamobagu dapat dikoreksi dalam proses hukum berikutnya. Mereka menuntut agar hak atas tanah yang diperoleh secara sah dan melalui proses negara mendapat perlindungan hukum sebagaimana dijamin dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).

Landreform, sebagai program strategis negara untuk pemerataan akses terhadap tanah, tidak boleh dikalahkan oleh klaim sepihak yang tidak didasarkan pada hukum yang kuat.

Warga dan tim kuasa hukum berkomitmen untuk terus memperjuangkan hak mereka hingga memperoleh keadilan dan kepastian hukum.

Peliput : Dayat Gumalangit

RELATED ARTICLES

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
- Advertisment -spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
- Advertisment -spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
- Advertisment -spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
- Advertisment -spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
- Advertisment -spot_imgspot_imgspot_img

Most Popular

Recent Comments