spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
- Advertisment -spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
BerandaBolselKeadilan untuk Aan: Jeritan Terakhir Seorang Anak, Perjuangan Seorang Ayah

Keadilan untuk Aan: Jeritan Terakhir Seorang Anak, Perjuangan Seorang Ayah

DetailNews.id – Di tengah senyapnya suasana duka yang belum juga reda, Inton Budi Santoso melangkah dengan langkah berat menuju Mapolres Bolaang Mongondow Selatan (Bolsel). Di tangannya, bukan sekadar berkas laporan, tetapi harapan terakhir yang masih tersisa untuk anaknya: Revan Kurniawan Santoso, atau yang lebih dikenal sebagai Aan.

Aan bukan siapa-siapa di mata hukum seorang buruh kapal dari Desa Sondana, bukan tokoh publik, bukan aktivis. Namun kisah tragisnya kini menggema ke seluruh penjuru daerah, setelah ia meninggal dunia dalam status tahanan negara, menyisakan luka dan pertanyaan yang belum terjawab.

Pada Selasa, 20 Agustus 2025, Inton secara resmi melaporkan dua anggota kepolisian, yakni Kasat Reskrim Polres Bolsel Iptu Dedy Vengky Matahari dan seorang anggota bernama Grensi, atas dugaan penganiayaan yang dialami putranya selama masa penahanan.

“Saya tahu anak saya bukan orang suci. Tapi bukan berarti dia pantas dipukuli, disiksa, lalu dibiarkan mati,” ujar Inton dengan suara tertahan.

Laporan itu didasari bukti-bukti yang menurut keluarga tak bisa diabaikan: rekaman video pengakuan Aan, sepucuk surat tulisan tangan, serta hasil otopsi yang menunjukkan tulang dada dan tulang paha Aan retak. Sebuah kondisi yang menguatkan dugaan adanya kekerasan fisik selama proses penahanan.

Aan sebelumnya ditangkap terkait kasus penganiayaan saat acara drag race pada Mei lalu. Ia tidak ikut balapan, tidak memiliki kendaraan, namun diduga terlibat dan ditahan di Polres Bolsel selama lebih dari dua bulan. Ia kemudian dipindahkan ke Rutan Kelas IIB Kotamobagu sebagai tahanan titipan Kejaksaan, namun tak lama setelahnya, Aan meninggal dunia sebelum menjalani proses persidangan.

Dalam video yang direkam menjelang ajalnya, Aan yang tampak lemah dan kurus mengaku mengalami kekerasan fisik sejak awal penangkapan.

“Saya dipukul sejak ditangkap. Di Polsek dipukul. Di Polres juga. Pakai pipa besi, di dada dan kedua paha,” ucap Aan dalam video tersebut.

Bagi ayahnya, pengakuan itu adalah kesaksian terakhir seorang anak yang tahu ajalnya sudah dekat. Sebuah pesan yang menjadi titik awal perjuangan untuk membuka kembali ruang keadilan yang mungkin selama ini tertutup rapat.

“Dua tulang yang retak itu bukan hanya catatan medis. Itu adalah saksi bisu bahwa anak saya mengalami sesuatu yang salah,” ungkap Inton.

Amin Laiya, keluarga mendiang Aan, turut menyuarakan keprihatinan yang sama. Baginya, laporan ini bukan sekadar bentuk kemarahan, tetapi ujian moral bagi aparat hukum.

“Jika laporan ini dibiarkan menguap, maka publik akan percaya bahwa nyawa tahanan bisa hilang tanpa konsekuensi. Tapi kalau diusut terbuka, ini jadi momen bagi hukum untuk membuktikan bahwa ia mampu mengoreksi dirinya sendiri,” tegas Amin.

Sementara itu, Iptu Dedy Vengky Matahari, yang namanya disebut dalam laporan, memberikan bantahan dalam konferensi pers yang digelar di Mapolres Bolsel pada Kamis (21/08/2025).

“Nama saya dicatut. Saya merasa sedang difitnah. Faktanya, saat kami menyerahkan Aan ke Kejaksaan, ia dalam kondisi sehat. Itu semua tertulis dalam berita acara dan didukung rekaman video,” ujar Dedy.

Ia merujuk pada berita acara serah terima tersangka dan barang bukti bernomor B/29 c/VII/Res 16/Reskrim, tertanggal 21 Juli 2025, yang disebut telah ditandatangani oleh pihak kejaksaan.

Dedy juga menegaskan bahwa ia tidak memiliki akses ke dalam rutan tanpa pengawasan Propam, dan jika memang ada kekerasan, ia meminta bukti waktu dan tempat kejadian.

“Kalau saya bersalah, saya siap dihukum. Tapi kalau tidak terbukti, saya juga akan menggunakan hak saya untuk membela diri sebagai warga negara,” ujarnya.

Kematian Aan telah meninggalkan duka, tapi juga menguak realita yang lebih besar: bagaimana sistem memperlakukan seseorang yang belum terbukti bersalah.

Bagi sang ayah, perjuangan ini bukan tentang sensasi atau dendam, tetapi mewakili suara anaknya yang sudah tak bisa bicara lagi.

“Status tersangka itu tidak menghapus hak anak saya sebagai manusia. Saya hanya ingin satu hal: keadilan,” tegas Inton.

Kini semua mata tertuju pada bagaimana aparat penegak hukum merespons laporan ini. Apakah akan ada penyelidikan terbuka? Apakah akan dilakukan langkah korektif? Ataukah ini akan menjadi satu lagi kasus yang perlahan menghilang dari ingatan publik?

Jawabannya akan menentukan lebih dari sekadar nasib satu keluarga. Ini tentang percaya atau tidaknya masyarakat pada keadilan yang seharusnya menjadi milik semua, tanpa pengecualian.

Peliput : Taufik Dali

RELATED ARTICLES

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
- Advertisment -spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
- Advertisment -spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
- Advertisment -spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
- Advertisment -spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
- Advertisment -spot_imgspot_imgspot_img

Most Popular

Recent Comments