DetailNews.id, Manggarai – Momen penerimaan rapor di sekolah kerap dipandang sebagai rutinitas biasa: orang tua datang, menerima hasil belajar anak, berbincang singkat dengan guru, lalu pulang. Namun di balik aktivitas yang tampak sederhana itu, tersimpan makna psikologis yang sangat mendalam bagi anak, terutama ketika seorang ayah hadir secara langsung.
Hal tersebut disampaikan Konsultan dan Praktisi Psikologi yang juga Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Manggarai, Jefrin Haryanto, kepada DetailNews.id, Sabtu (20/12/2025). Menurutnya, kehadiran ayah dalam momen penerimaan rapor bukan sekadar formalitas, melainkan pesan cinta yang kuat dan membekas dalam ingatan anak.
“Bagi anak, kehadiran ayah adalah validasi emosional. Tanpa banyak kata, itu menyampaikan pesan: Ayah peduli, Ayah melihat aku,” ujar Haryanto.
Ia menjelaskan, berbagai riset psikologi perkembangan menunjukkan bahwa keterlibatan ayah dalam aktivitas pendidikan anak berpengaruh signifikan terhadap harga diri, motivasi belajar, serta pembentukan karakter. Ayah dipandang sebagai authority figure yang membuat anak merasa diakui dan dihargai, terlepas dari capaian akademik yang diraih.
“Ini bukan soal nilai rapor baik atau buruk. Ini tentang perasaan diterima. Anak menangkap pesan bahwa proses mereka dihargai,” jelasnya.
Haryanto menekankan bahwa rapor sejatinya merupakan cerminan perjalanan belajar, bukan sekadar angka atau peringkat. Kehadiran ayah mengirimkan pesan penting bahwa kebanggaan orang tua tidak semata-mata bergantung pada prestasi, melainkan pada usaha dan proses yang dijalani anak.
Dalam perspektif psikologi humanistik, hal ini selaras dengan konsep unconditional positive regard yang diperkenalkan Carl Rogers, yakni penerimaan tanpa syarat yang berperan besar dalam memperkuat self-worth atau harga diri anak.
Lebih jauh, Haryanto menilai keterlibatan ayah dalam pendidikan anak juga berkontribusi mengubah narasi maskulinitas yang selama ini berkembang di masyarakat. Di tengah budaya patriarki yang kerap memposisikan urusan sekolah sebagai tanggung jawab ibu, kehadiran ayah menjadi simbol kedewasaan emosional seorang laki-laki.
“Ayah bukan hanya pencari nafkah. Kehadiran emosional dalam hidup anak adalah bagian penting dari peran ayah,” tegasnya.
Ia pun mendorong para ayah untuk mengambil peran lebih aktif, seperti datang langsung saat penerimaan rapor, mendengarkan cerita anak tentang pengalaman belajarnya, menjalin komunikasi hangat dengan guru, serta menanyakan harapan dan perasaan anak, bukan semata target akademik.
“Hadir itu hadiah,” pungkas Haryanto.
Menurutnya, anak mungkin akan melupakan nilai mata pelajaran tertentu di masa depan, tetapi mereka akan selalu mengingat siapa yang duduk di samping mereka saat menerima rapor, siapa yang menggenggam tangan mereka, dan siapa yang berkata, “Terima kasih sudah berjuang.”
Pada akhirnya, rapor terindah bukanlah yang tertulis di atas kertas, melainkan yang terukir di hati anak-anak dan kehadiran ayah adalah tinta yang membuatnya abadi.
Peliput : Safrinus





