DetailNews.id – Upaya Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulawesi Utara (Sulut) membongkar kasus dugaan korupsi pengalihan tanah negara eks Hak Guna Usaha (HGU) di Kabupaten Bolaang Mongondow (Bolmong) akhirnya membuahkan hasil. Dua orang resmi ditetapkan sebagai tersangka dalam perkara yang merugikan negara hingga ratusan miliar rupiah.
Dalam keterangan pers, Kepala Kejati Sulut Andi Muhammad Taufik menyebutkan, dua tersangka yakni TM, mantan Kepala Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Bolmong, dan SA, Wakil Direktur PT SBC, diduga kuat terlibat dalam praktik pengalihan aset negara berupa tanah eks HGU milik PUSKUD Sulut.
“Penyidik telah mengantongi cukup alat bukti, termasuk hasil audit BPKP Sulut. TM dan SA dijerat dengan Pasal 2 atau Pasal 3 UU Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 18 jo Pasal 55 KUHP,” tegas Andi, Jumat (01/08/2025).
Kasus ini bermula dari tanah eks HGU milik PUSKUD Sulut yang masa sewanya telah berakhir, namun tidak dikembalikan ke negara. Sebaliknya, lahan tersebut dialihkan secara ilegal kepada pihak ketiga.
Dari penyidikan, SA diduga menerima manfaat senilai lebih dari Rp15 miliar, sementara TM diduga menyalahgunakan wewenangnya sebagai pejabat BPN untuk memuluskan proses pengalihan, yang mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp187 miliar.
Tanah seluas 169 hektare yang sudah beralih tangan kini telah disita untuk dikembalikan ke negara. Lokasi tersebut tersebar di wilayah Inobonto I, sebagian di antaranya kini dikuasai oleh PT Conch North Sulawesi Cement, anak usaha dari PT Sulenco Bohusami Cement.
Kajati menegaskan bahwa pihaknya akan terus menggali keterlibatan pihak lain dalam kasus ini.
“Kami berkomitmen mengusut tuntas. Tidak ada toleransi bagi penyalahgunaan kewenangan. Semua aset negara yang dialihkan secara ilegal akan dikembalikan,” tegasnya.
Proses penyelidikan juga telah memanggil sejumlah pejabat Pemkab Bolmong sebagai saksi.
Kasus pengalihan lahan negara di Bolmong ternyata bukan yang pertama. Sejumlah lokasi di wilayah itu kini menjadi sorotan karena diduga berdiri di atas tanah berstatus HGU yang belum dikembalikan ke negara.
Salah satunya terjadi di Desa Lalow, Kecamatan Lolak, di mana lahan yang sebelumnya berstatus HGU kini sudah dikapling dan didirikan bangunan komersial berupa hotel. Kasus ini sempat disorot DPRD Bolmong yang meminta penertiban.
Persoalan serupa juga ditemukan di kompleks perkantoran Pemkab Bolmong, tempat gedung Balai Latihan Kerja Komunitas (BLKK) didirikan di atas lahan yang statusnya masih HGU, namun tanpa surat hibah resmi.
Menanggapi isu tersebut, Kepala Desa Padang Lalow, Ahadin Pontoh, mengaku bahwa lahan tempat berdirinya gedung BLKK kini telah bersertifikat atas nama pribadi, yakni Sukron Mamonto, yang juga pimpinan Yayasan Laduna Ilma Nurul Iman.
“Saya memang pernah menandatangani SKT pada 2016. Tapi itu bukan berarti langsung menjadi hak milik. Belakangan saya baru tahu, lahannya sudah bersertifikat,” ujar Ahadin.
Fakta ini menunjukkan adanya dugaan penyimpangan dalam penerbitan sertifikat melalui BPN Bolmong, yang kini menjadi fokus lanjutan penyidikan.
Sejumlah pihak mendesak agar Kejati Sulut tidak hanya menghentikan praktik mafia tanah, tetapi juga menata ulang sistem pengawasan lahan berstatus HGU. Publik berharap agar pengalihan lahan negara tidak lagi terjadi tanpa dasar hukum yang jelas, mengingat dampaknya yang luas terhadap tata ruang, aset negara, dan kepercayaan publik.
Peliput : Dayat Gumalangit