DetailNews.id – Di balik gemerlap kehormatan seorang polisi, berdirilah para Bhayangkari istri para aparat penegak hukum yang selama ini dikenal sebagai pilar pendukung yang setia, lembut, dan bermartabat. Mereka tidak hanya menjaga rumah tangga, tetapi juga menjadi bagian penting dalam membangun citra humanis institusi kepolisian. Namun apa jadinya ketika salah satu dari mereka justru mencoreng peran mulianya sendiri?
Insiden yang terjadi di Desa Labuang Uki, Kecamatan Lolak, Kabupaten Bolaang Mongondow, mengusik rasa keadilan publik. Seorang perempuan berinisial GL, yang diketahui adalah anggota Bhayangkari, diduga melakukan tindakan kekerasan verbal dan fisik terhadap warga lainnya, NL. Lebih dari sekadar konflik personal, insiden ini menyentuh ranah etik dan moral yang jauh lebih dalam karena dilakukan di hadapan publik dan oleh seseorang yang membawa identitas istri aparat.
Apa yang dilakukan GL, yakni mencaci hingga menggunting rambut korban di depan umum, bukan hanya tindakan melukai secara fisik, tetapi juga penghinaan yang mendalam terhadap martabat seorang perempuan dan warga negara. Dalam budaya masyarakat lokal, hal ini lebih dari sekadar kekerasan ini adalah bentuk perendahan sosial dan psikologis yang dapat meninggalkan trauma jangka panjang.
Perlu disadari: meskipun Bhayangkari bukan bagian dari struktur komando Polri, setiap tindak-tanduk anggotanya tetap memuat konsekuensi simbolik terhadap citra institusi. Mereka adalah wajah kedua kepolisian wajah yang lembut, keibuan, mendidik, dan mendamaikan. Maka, ketika GL memilih jalan kekerasan dan arogansi, yang tercoreng bukan hanya nama pribadinya, tetapi juga nilai-nilai yang selama ini dijunjung Bhayangkari itu sendiri.
Apakah GL lupa bahwa setiap perkataan dan tindakannya tidak bisa dilepaskan dari status sosial yang ia emban? Apakah ia merasa aman karena berada di lingkaran kekuasaan? Inilah yang berbahaya: ketika seseorang merasa kebal hukum hanya karena dekat dengan kekuasaan, dan kemudian menggunakan status itu untuk merendahkan sesama.
Di kota besar, insiden seperti ini mungkin akan tenggelam dalam riuh informasi. Namun di desa kecil, hal ini menjadi luka kolektif. Warga bertanya-tanya: apakah hukum akan ditegakkan dengan adil? Apakah kedekatan dengan aparat membuat seseorang bisa leluasa bertindak sewenang-wenang?
Korban, NL, bukan hanya kehilangan harga diri di hadapan publik, tetapi juga bisa kehilangan kepercayaan terhadap hukum dan keadilan sosial. Dan itu jauh lebih menyakitkan daripada rambut yang dipotong.
Tindakan GL mencerminkan hilangnya empati, lunturnya tanggung jawab sosial, dan rapuhnya kesadaran moral. Alih-alih menjadi teladan, ia menjadi simbol dari bagaimana kekuasaan bisa disalahgunakan oleh mereka yang mestinya hadir membawa kedamaian.
Bhayangkari sejatinya bukan simbol kekuasaan, tetapi simbol kelembutan yang menjaga keseimbangan citra Polri di mata masyarakat. Ketika ada anggotanya bertindak kasar dan merendahkan orang lain, maka itu adalah pengkhianatan terhadap nilai-nilai dasar Bhayangkari sendiri.
Namun di balik peristiwa ini, masih ada harapan. Semoga kejadian ini menjadi alarm peringatan, tidak hanya bagi Bhayangkari, tetapi juga bagi seluruh elemen yang bersentuhan dengan kekuasaan: bahwa kekuatan sejati bukan untuk menekan, tapi untuk melindungi; bahwa martabat bukan terletak pada jabatan, tetapi pada perilaku.
Dan pada akhirnya, kita harus mengingat: rambut bisa tumbuh kembali, tapi harga diri yang dilukai di depan publik membutuhkan waktu yang lama untuk sembuh.
Institusi boleh besar, tetapi ia hanya sekuat moralitas orang-orang yang mengemban simbolnya.
Peliput : Dayat Gumalangit