Refleksi Natal dari Si Bea-bea, Samosir
Oleh: Ir. Vickner Sinaga, MM
Bupati Kabupaten Dairi 2025–2030
Mantan BOD PLN 2009–2014
Penerima Satyalancana Pembangunan dari Presiden RI (2012)
Penulis buku Out Of The Box
DetailNews.id, Dairi – Nyaris sempurna. Hampir tak ada yang perlu dikomentari, kecuali satu kata, kagum. Itulah reaksi spontan seorang maestro jurnalistik Indonesia, Dahlan Iskan, ketika berdiri memandang Patung Yesus di kawasan Si Bea-bea, Kabupaten Samosir, menjelang senja.
“Bahkan lebih indah dibandingkan yang di Rio de Janeiro, Brasil,” ujarnya pelan, seolah tak ingin merusak keheningan yang menyelimuti tempat itu.
Ada satu catatan kecil, katanya sambil tersenyum, lantai di bagian atas sedikit licin. Selebihnya, karya monumental Sudung Situmorang bersama tim benar-benar memukau, dari penataan ruang, lanskap perbukitan yang menyatu dengan alam, hingga pemilihan bunga yang elegan dan penuh warna. Sebuah mahakarya iman yang tak hanya dilihat, tetapi juga dirasakan.
Perjalanan Panjang, Agenda Padat
Dahlan Iskan tiba di Pendopo Pemerintah Kabupaten Dairi larut malam, 24 Desember 2025. Perjalanan panjang ditempuh, Surabaya–Batam, Batam–Kualanamu, lalu enam jam perjalanan darat menuju Sidikalang. Melelahkan, tentu saja. Namun justru agenda terpadat menanti keesokan harinya, tepat di Hari Natal.
Pagi buta dimulai dengan senam bersama sekitar tiga puluh sahabat, pukul 06.30 hingga 08.00 WIB. Sejam berikutnya, urusan kantor diselesaikan. Lalu kami bergerak ke pelataran Gereja Katolik Santo Petrus, mengikuti misa Natal bersama lebih dari seribu umat.
Dalam suasana penuh khidmat itu, saya bersama Dahlan Iskan didaulat menyapa umat, sebuah kehormatan yang sarat makna dan kerendahan hati.
Ziarah Sejarah dan Rasa Syukur
Perjalanan rohani berlanjut. Kami berziarah ke Patung Pahlawan Nasional Letjen Tahi Bonar Simatupang, lalu ke Patung Komponis Nasional Liberty Manik. Di sela perjalanan, kami menyeruput teh hangat, menikmati panorama alam Sumbul dan Tigabaru, hamparan sawah hijau yang subur, membentang sejauh mata memandang.
Menjelang tengah hari, rombongan singgah di Pondok Santai, Kalang Simbara. Makan siang khas Sidikalang tersaji lengkap: ikan bakar, ayam pinadar, gulai, dan sayur rebus. Ditutup durian dengan beragam rasa, sederhana, hangat, dan penuh keakraban.
Si Bea-bea dan Kesadaran Akan Kecilnya Manusia
Menjelang petang, perjalanan lintas kabupaten membawa kami kembali ke Si Bea-bea. Kami tiba sekitar pukul 16.30 WIB, waktu yang nyaris sempurna. Pengunjung belum terlalu ramai. Ruang untuk berdoa, merenung, dan mengabadikan momen terasa lebih lapang.
Di hadapan Patung Yesus yang menjulang megah, seorang rekan mengambil gambar saat saya terdiam. Bukan pose, melainkan refleksi. Betapa kecilnya manusia di hadapan Tuhan.
Perenungan itu membawa ingatan pada berbagai peristiwa pilu sebulan terakhir, bencana, duka, dan kehilangan. Saya teringat khotbah Ephorus HKBP beberapa hari sebelumnya di Gedung Mulia, Jakarta, dalam perayaan Natal lintas delapan denominasi gereja asal Sumatera Utara. Ada satu fakta yang mengusik: hasil survei menunjukkan Desember adalah bulan paling penuh tekanan (most stressful month).
Masuk akal. Anggaran keluarga terkuras, kebutuhan meningkat, target tahunan harus dikejar. Aparat keamanan, petugas PLN, Telkom, kru transportasi hingga penerbangan berada dalam status siaga. Ironisnya, data statistik juga mencatat banyak bencana besar terjadi di bulan Desember, Tsunami Aceh, bencana Sulawesi Tengah, awal pandemi Covid-19, hingga bencana alam terbaru di Sumatera yang masih membutuhkan pemulihan panjang.
Debu di Hadapan Sang Maha Kuasa
Dari semua itu, satu hikmah terasa begitu kuat: betapa terbatasnya daya manusia. Teriakan minta tolong sering kali tak terdengar. Bahkan sekadar mengenali jenazah anggota keluarga pun kadang tak terwujud.
Lamunan saya terhenti. Saya kembali menatap Patung Yesus di Si Bea-bea. Tubuh manusia saja sudah begitu kecil dibandingkan patung itu, apalagi di hadapan hadirat Tuhan, dengan otoritas-Nya atas hidup kita yang fana. Tak terjangkau, tak terselami.
“Jika bukan Tuhan yang menjaga kota, sia-sialah para penjaga berjaga-jaga.”
Doa itu terucap lirih. Agar kita dijauhkan dari bencana. Diberi kekuatan menghadapi hidup yang rapuh ini.
Natal, Harapan, dan Budaya Baru
Tulisan ini saya unggah dari Pendopo Pemerintah Kabupaten Dairi pada malam Natal, 25 Desember 2025. Saya dedikasikan untuk tamu kehormatan kami, Dahlan Iskan dan Ibu Nafsiah Dis, Nicky, serta sahabat Sahidin. Juga untuk Sudung Situmorang, sosok di balik suksesnya pembangunan Patung Yesus di Si Bea-bea. Terima kasih kepada para pendoa syafaat yang tulus.
Akhir kata, bagi seluruh umat Kristiani, Selamat Natal. Dan untuk kita semua, Selamat menyongsong Tahun Baru. Kiranya tahun yang datang menjadi tahun anugerah, penuh berkat, pengampunan, dan pengharapan.
Mari kita tinggalkan budaya SMOS kuadrat, Senang Melihat Orang Susah, Susah Melihat Orang Senang. Saatnya beralih ke SMOS pangkat dua, Simpati Melihat Orang Susah, dan Suka Melihat Orang Senang. Sebab di hadapan-Nya, kita semua sama, kecil, rapuh, dan hanya mampu berharap.





