DetailNews.id, Sulut – Sulawesi Utara (Sulut) resmi menjadi tuan rumah Sarasehan Nasional Obligasi Daerah, yang digelar di Ruang CJ Rantung, Kantor Gubernur Sulut. Gubernur Yulius Selvanus hadir sebagai Keynote Speaker, mewakili pemerintah daerah dalam forum yang mempertemukan pemerintah daerah, akademisi, dan lembaga keuangan.
Acara ini menitikberatkan pada peluang dan tantangan penerbitan obligasi daerah sebagai alternatif pembiayaan pembangunan. Dalam sambutannya, Gubernur Yulius menegaskan pentingnya keberanian pemimpin dalam menghadapi situasi sulit. “Pemimpin harus berani menghadapi persoalan dan mengambil keputusan dalam situasi sulit. Kepemimpinan tidak hanya hadir saat keadaan nyaman,” tegasnya.
Gubernur juga menyampaikan data faktual kondisi pembangunan dan fiskal Sulawesi Utara, sekaligus menanggapi dinamika pernyataan seorang anggota DPR RI. Ia menekankan bahwa Sulut tidak boleh menyerah dan harus terus mencari inovasi pembiayaan pembangunan.
Yulius Selvanus memuji inisiatif Badan Anggaran MPR RI, yang mendorong inovasi melalui mekanisme obligasi, serta menyoroti potensi strategis Sulut. Dengan luas wilayah 14,5 ribu km², 73,25% berupa laut, dan penduduk sekitar 2,6 juta jiwa, Sulut berbatasan langsung dengan Filipina dan kawasan Asia Pasifik. Provinsi ini juga diapit dua jalur strategis ALKI II dan ALKI III, menjadikannya potensial sebagai hub logistik dan ekonomi regional.
Selain itu, Gubernur menekankan kekuatan sosial masyarakat Sulut, yang toleran dan menjunjung tinggi nilai sitou timou tumoutou, sebagai penopang stabilitas pembangunan. Ia menjelaskan perbedaan antara obligasi daerah yang umum dan sukuk daerah berbasis prinsip syariah, sebagai instrumen pembiayaan alternatif.
Dalam konteks visi RPJMD 2025–2029, Gubernur menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 7,8–8,08% pada 2029, peningkatan daya saing daerah dengan indeks 7,69, serta fokus pada ketahanan pangan, energi, dan air. Semua target ini membutuhkan pembiayaan yang kuat dan berkelanjutan.
Gubernur juga menyoroti tantangan keuangan daerah, termasuk penurunan Transfer ke Daerah (TKD) dari sekitar Rp14 triliun pada 2025 menjadi hampir Rp11 triliun pada 2026, yang menempatkan Sulut dalam kategori kapasitas fiskal rendah. Ia menawarkan obligasi daerah sebagai solusi, dengan memperkuat keyakinan melalui potensi tambang emas besar di Sulut. “Negara-negara seperti Tiongkok, Jepang, Inggris, dan AS telah lama menggunakan obligasi hingga level kota,” jelasnya.
Sarasehan ini diharapkan menghasilkan rumusan kebijakan visioner yang mendorong keberanian mengambil langkah inovatif demi percepatan pembangunan Sulut dan Indonesia.*
Peliput : Dade Paputungan







