DetailNews.id – Desa Labuang Uki, Kecamatan Lolak, biasanya dikenal sebagai wilayah yang tenang. Namun, dalam beberapa pekan terakhir, ketenangan itu terusik oleh kisah memilukan seorang perempuan berinisial NL, yang mengaku dipaksa meninggalkan desa tempat tinggalnya oleh kepala desa setempat, tanpa dasar hukum yang jelas.
“Saya dipaksa keluar tanpa alasan yang jelas. Tanpa proses hukum. Saya hanya ingin keadilan,” kata NL dengan mata berkaca-kaca, saat ditemui di salah satu rumah kerabatnya, Jumat (06/09/2025).
Kisah NL bermula dari konflik pribadi yang berujung pada dugaan tindak penganiayaan. Ia menjadi korban kekerasan yang diduga dilakukan oleh seorang anggota Bhayangkari berinisial GL. Saat kasus itu hendak dilaporkan ke pihak berwajib, pemerintah desa setempat justru mengambil jalur non-hukum.
Pemerintah Desa Labuang Uki menginisiasi pertemuan “kekeluargaan” antara kedua pihak. Namun menurut pengakuan keluarga NL, musyawarah tersebut berubah menjadi ruang tekanan agar kasus diselesaikan secara damai, di luar jalur hukum.
“Kami diajak berdamai, tapi kami menolak. Bukan karena kami tidak mau damai, tapi karena kami percaya pada proses hukum,” ujar salah satu anggota keluarga NL.
Penolakan ini rupanya memicu respons keras dari pemerintah desa. Tak lama setelah pertemuan tersebut, NL menerima tekanan untuk pindah domisili. Tidak ada surat resmi pengusiran, tetapi intimidasi sosial dan administratif mulai dirasakan.
Ibrahim Nata, Kepala Desa Labuang Uki, saat dikonfirmasi, tidak membantah adanya rekomendasi pemindahan domisili terhadap NL. Ia menyatakan bahwa keputusan itu diambil demi menjaga “marwah dan kehormatan desa.”
“Kami akan keluarkan surat rekomendasi mutasi. Siapa saja yang merusak nama baik desa, harus dipindahkan,” tegas Ibrahim.
Lebih lanjut, ia menyebut bahwa Labuang Uki adalah desa adat, sehingga tindakan-tindakan adat masih menjadi rujukan dalam pengambilan keputusan. Namun hingga kini, tidak ada dokumen hukum, putusan pengadilan, atau hasil musyawarah resmi yang menyatakan bahwa NL bersalah atau layak dipindahkan dari domisilinya.
Bagi NL, pengusiran ini bukan sekadar perpindahan alamat. Ini adalah pemutusan ikatan dengan tanah kelahiran, dengan identitas, dan dengan sejarah hidupnya.
“Saya tidak tahu harus ke mana. Saya tidak pernah membayangkan akan terusir dari tanah sendiri,” ujarnya lirih.
Warga sekitar, sebagian besar memilih diam. Ada rasa takut yang tidak kasat mata takut akan kekuasaan yang bisa menentukan nasib seseorang, bahkan tanpa proses hukum.
Seorang pakar hukum tata pemerintahan dari salah satu perguruan tinggi di Manado menegaskan, tindakan kepala desa tersebut melanggar asas legalitas dan hak asasi warga negara.
“Kepala desa tidak memiliki kewenangan untuk memaksa warga pindah domisili tanpa melalui proses hukum yang sah. Ini adalah pelanggaran terhadap hak sipil seseorang,” tegasnya.
Ia menambahkan, kepala desa adalah pelaksana urusan pemerintahan, bukan pemegang kekuasaan absolut yang bisa menentukan siapa yang boleh tinggal dan siapa yang harus pergi.
Desakan dari warga dan pihak keluarga NL pun mulai menguat. Mereka meminta Pemerintah Kabupaten Bolaang Mongondow untuk segera melakukan evaluasi terhadap kebijakan kepala desa dan memulihkan hak-hak dasar NL sebagai warga negara.
NL sendiri menyatakan bahwa ia tidak menuntut lebih dari apa yang menjadi haknya.
“Saya hanya ingin diperlakukan adil. Kalau saya salah, biar hukum yang membuktikan. Bukan kepala desa,” ucapnya tegas.
Kisah NL menjadi cermin kecil dari persoalan besar: penyalahgunaan kewenangan di tingkat pemerintahan desa. Ketika kekuasaan di tangan yang salah, bahkan sebuah desa kecil bisa berubah menjadi tempat yang menakutkan bagi warganya sendiri.
Pertanyaannya kini bergema luas: Apakah kepala desa boleh menentukan siapa yang boleh tinggal dan siapa yang harus pergi, tanpa dasar hukum?
Jika dibiarkan, Labuang Uki bisa kehilangan lebih dari satu warganya. Ia bisa kehilangan kepercayaan pada hukum dan keadilan.
Peliput : Dayat Gumalangit