Catatan Kecil Dari Diskusi di Milad 96 Nahdlatul Ulama: Menghindari NU dari Jebakan Dikotomik.
Oleh : Hasby Yusuf
DetailNews.id – NU Struktural vs NU Kultural, Untungkah?. Ini tema diskusi malam ini di Sekretariat IKA PMII. Bersama sahabat saya Dr Mohtar Adam, Sahabat Dr. Fahrul dan Sahabat Salim Thaib. Saya hadir mewakili MW KAHMI Maluku Utara. Tentu ini diskusi yang menarik di momen Milad Nahdlatul Ulama yang 96 tahun.
Dalam pandangan saya, meski sejarah kelahiran NU adalah perjuangan kultural yang berbasis pada pondok pesantren dan diniyah. Tetapi perubahan zaman mengharuskan NU harus mengubah cara perjuangan kepada orientasi struktural politik. Ini tidak akan mencabut NU dari akar kultural tetapi justru pendekatan struktural adalah pilihan untuk penguatan basis perjuangan kultural sebagaimana yang diperjuangkan oleh Hadratus Syaikh Hasyim Asyari. Bagi saya sudah tak tepat lagi mendikotomi NU dalam opsi gerakan kultural dan struktural.
Bagi saya dikotomi isu struktural dan kultural tak bisa dipisahkan dari narasi sekularisasi sebagai upaya memisahkan agama dengan negara. Atau dalam bahasa sederhananya, ulama tak boleh masuk dalam wilayah politik kekuasaan (struktur kekuasaan). Dengan basis pesantren & sekolah agama yang makin berkembang kita butuh instrumen negara baik melalui legislasi dalam bentuk UU maupun peraturan lainnya untuk penguatan dakwah, pendidikan dan ekonomi umat.
Lahir UU Zakat, Haji, Bank Syariah, Produk Halal dan UU ponpes & diniyah atau UU Syariah lainnya tak bisa dipisahkan dari produk perjuangan politik di struktur kekuasaan. Jika NU tidak mengambil pendekatan struktural menurut saya NU sebagai Institusi akan tak cukup mempuni untuk berjuang maksimal dalam menegakkan prinsip agama dan penguatan nilai-nilai Kebangsaan. Tetapi menurut saya ini tidak serta merta NU harus berpolitik dalam arti partisan dalam gerbong partai tertentu.
Seperti HMI dan KAHMI, sejak kelahirannya tetap independen dan bukan bagian dari undrebow salah satu partai politik manapun. Tetapi HMI & KAHMI menyebarkan kadersnya disemua lini kekuasaan melalui beragam partai politik. Kaders HMI cukup banyak ditempatkan pada jabatan strategis yang ikut menentukan arah kebijakan negara. Ini pilihan perjuangan politik HMI secara struktural, tetapi ini juga tak menafikkan realitas bahwa ratusan ribu kaders HMI juga terdistribusi dalam perjuangan yg bersifat kultural, berjuang bersama masyarakat di level akar rumput.
Ketika Cak Nur, Nurkholish Madjid, tokoh HMI yang terkenal dengan gerakan pemikiran islam moderat berkeliling Indonesia untuk kampanye sebagai calon presiden, atau Gus Dur, Abdurahaman Wahid ketua PBNU jadi Presiden atau Muhammad Amien Rais tokoh Muhamadiyah ikut dalam konstestasi dalam pemilihan presiden, menurut saya itu merupakan bagian dari kesadaran politik struktural. Lantas ini bahwa mereka akan meninggalkan perjuangan yg bersifat kultural yg berbasis pada nilai keislaman dan intelektual? Tentu saja tidak.
Menurut saya yang mesti dipahami adalah, bahwa perjuangan struktural itu memerlukan dukungan di tingkat akar rumput (rakyat) dan tentu saja syarat kadar kecendikiawanan yang tinggi. Cak Nur, Gus Dur dan Amien Rais, tiga tokoh Islam utama yang mewakili HMI, NU dan Muhamadiyah adalah tokoh yang memiliki kecerdasan tingkat tinggi sebelum terjun dalam gelanggang politik kekuasaan. Inilah real mode yang harus dilakukan oleh NU & ormas islam lainnya jika mengambil pilihan perjuangan struktural politik.
NU dengan basis anggota yang besar, merupakan pasar ekonomi yang menjanjikan jika dikelola dgn profesional dan terukur. Pemberdayaan ekonomi umat baik berbasis pedesaan dan pesantren akan menjadi kekuatan baru bagi NU jika NU mengambil jalan ini. Ini yang menurut saya belum digarap oleh PBNU secara maksimal. Saya membayangkan jika NU, Muhamadiyah, HMI/KAHMI dan elemen islam lainnya berkolaborasi secara ekonomi, bukan tidak mungkin ekonomi Indonesia akan beralih tangan, dari penguasaan para oligarki dan konglomerat kapitalis ke kelompok entrepreneurship muslim.
Dibidang pendidikan dan kesehatan bahkan politik jika kekuatan besar umat islam yang didalamnya NU dan ormas islam berpadu maka ruh pendidikan dan pelayanan kesehatan tak bisa lagi didikte oleh sekelompok orang yang selama ini menjadikan sektor pendidikan dan kesehatan sebagai ladang bisnis yang justru merusak pendidikan karakter dan moral umat dan bangsa. Lanskap politik Indonesia akan berubah besar, kekuatan politik islam memandu jalan negara sebagai bagian dari kolaborasi antar elemen islam, dimana NU bisa memainkan peran strategisnya.
Kedepan, saya dan keluarga besar KAHMI berharap adalah kolaborasi antar sesama elemen islam dalam perjuangan bersama meneguhkan nilai islam dan Kebangsaan dalam paket perjuangan bersama. NU sebagai salah satu ormas Islam tertua dan terbesar sudah saatnya menjadi perekat bagi persaudaraan dan persatuan Islam di Indonesia. Bahkan terkait kaders HMI yang hari ini menjadi Ketua Umum dan Sekjen PBNU tidak perlunya ditafsirkan dalam spirit rivalitas organisasi seperti HMI vs PMII. Justru bagi saya ini menjadi momentum NU untuk meneguhkan diri sebagai Institusi terbuka dengan ide Kebangsaan dan Keislamannya.