spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
- Advertisment -spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
BerandaPojok SahabatCatatan Pinggir Hari Tani Nasional: Menyumbang Negara dan Diabaikan Negara

Catatan Pinggir Hari Tani Nasional: Menyumbang Negara dan Diabaikan Negara

DetailNews.id – Catatan Pinggir Hari Tani Nasional: Menyumbang Negara dan Diabaikan Negara.

Oleh : Fahmi Karim (Ketua Cabang PMII Metro Manado)

Konflik agraria dari tahun ke tahun terus bertambah seiring dengan modernisasi di segala sektor dan dorongan pertumbuhan infrastruktur atau sekadar dalil estetika. Konflik ini tidak jarang meminggirkan masyarakat kecil yang tidak memiliki akses ke kekuasaan dan sering warga menjadi korban ketika warga melakukan perlawanan.

Perlawanan yang masyarakat lakukan bukanlah tanpa sebab, namun berdasar: untuk mempertahankan lingkungan hidup sebagai sumber kehidupan, untuk mempertahankan hak kepemilikan tanah, atau mempertahankan mata pencaharian. Karena “HAM itu sama dengan sepiring nasi.”

Pengambilan lahan warga, atau pun pengalihfungsian lahan, adalah untuk pembangunan beton besar, berupa perusahaan. Dalam skema untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, pembuatan pabrik-pabrik besar – dalangnya adalah arus investasi – menjadi penting sebagai satu instrumen untuk membuka lapangan pekerjaan.

Trickle-down effect economics (teori menetes ke bawah). Atau sering dikenal sebagai “teori kuda dan burung gereja” adalah argumen dasar dari model pembangunan kita. Sederhananya, jika kita memberikan makanan jerami kepada kuda dengan jumlah yang banyak, sebagian remah-remah makanan itu akan sekaligus langsung memberikan makan pada burung-burung gereja. Jadi, tugas dari pemerintah sekarang adalah memberikan banyak makanan kepada kuda, artinya membuka keran investasi dan membuat pabrik-pabrik agar bisa menyerap banyak tenaga kerja.

Meski teori ini telah dikatakan, bahkan oleh IMF sendiri, sebagai “mitos belaka”, karena kenyataannya keuntungan dari para kapitalis tidaklah menetes ke bawah, terus ditampung di atas, namun faktanya paradigma ini masih terterima oleh kebijakan pemerintah.

Pada akhirnya, dalam penerapan model paradigma “menetes ke bawah” ini, yang menjadi korban justru lahan-lahan pertanian produktif. Dari sini konflik tumbuh subur.

Dalam Catatan Akhir Tahun 2019 Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menyatakan, “Tahun 2019 telah terjadi 279 letusan konflik agraria dengan luas wilayah konflik mencapai 734.239,3 hektar. Jumlah masyarakat terdampak konflik agraria tahun ini sebanyak 109.042 KK yang tersebar di 420 desa, di seluruh provinsi di tanah air.” (Sumber Kpa.or.id)

Letusan konflik terbesar kembali terjadi di sektor perkebunan dengan jumlah 87 letusan konflik, disusul sektor infrastruktur sebanyak 83 letusan konflik, sektor properti 46, pertambangan 24, sektor kehutanan 20, pesisir/kelautan dan pulau-pulau kecil sebanyak 6 konflik. Bahkan sepanjang 2020, dalam catatan KPA, terjadi 241 kasus perampasan tanah dan penggusuran di 359 desa, dan ini melibatkan korban 135.337 KK dengan luas tanah 624.273.711 hektar.

Di Sulawesi Utara (Sulut) konflik agraria sering mengemuka antara pemerintah atau perusahaan dengan warga. Ada beberapa wilayah yang sampai sekarang permasalahan tanahnya tidak kunjung selesai. Seperti konflik petani Kelelondey.

Apakah pertanian ikut menyumbang bagi perekonomian Sulut? Jawabannya “iya”.

Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang memberikan peran, peran besar, bagi ekonomi Sulut. 21,23% dari total Produk Domestik Regional Bruto (PRDB) Sulut disumbangkan dari sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan pada triwulan 1 2019.

Pada Juli 2019, nilai tukar petani wilayah Sulut naik sebesar 0,74 persen dibanding bulan sebelumnya. Sesuai dengan istilah Bumi Nyiur Melambai, kelapa adalah tanaman utama yang memberikan sumbangan bagi ekonomi Sulut.

Luas dari tanaman produksi kelapa melebihi luas jumlah produksi cengkeh dan pala (dua tanaman ini juga merupakan tanaman unggulan Sulut dalam sumbangannya pada perekonomian). Tanaman kelapa mempunyai produksi yang mencapai 281.000 ton pada tahun 2018. Data ini naik 10,14 persen dibandingkan tahun sebelumnya (data BPS Sulut 2019).

Di saat musim Covid-19 ini, khususnya Sulut, pertanian masih merupakan sektor yang memberikan kontribusi pada pertumbuhan ekonomi. Baik kelapa (dan turunannya seperti kopra, minyak kelapa, santan kelapa, air kelapa, dll.) maupun pala.

Apa yang Dihadapi Petani?

Pertama, petani berhadapan dengan arah pembangunan negara yang tidak terlalu memprioritaskan pertanian sebagai basis utama dari cara membangun kesejahteraan warga negara. Terutama masyarakat yang berada di lapisan dasar.

Meski Presiden Jokowi bicara untuk kembali memfokuskan keberpihakan pada sektor pertanian, misalnya proyek food estate, dengan mencetak sawah, namun ini berbanding terbalik jika kita melihat konflik agraria yang makin tumbuh.

Jadi, selain petani berhadapan dengan permainan cuaca yang tidak bisa ditebak akan bagaimana besok nanti, petani juga berhadapan dengan model negara yang tidak bisa ditebak juga akan bagaimana besok nanti.

Kedua, petani dihadapkan dengan sektor kerja yang makin tidak diminati. Apalagi oleh anak muda. Misalnya BPS mengeluarkan laporan Sensus Pertanian 2013. Bagian dari publikasi ini menjelaskan hasil pendataan usia petani di Indonesia. Nyatanya urutan pertama petani yang terbanyak ada di usia 45-54 tahun, kedua ada di usia 35-44 tahun (dilansir dari Tirto.id dengan judul tulisan Indonesia Krisis Regenerasi Petani Muda).

“Angkatan muda yang emoh mengolah lahan membuat jumlah petani menyusut hingga 5 juta orang dalam kurun waktu 2003-2013.”

Sektor kerja yang tidak diminati ini pada ujungnya adalah sektor yang tidak punya harapan lebih ke depannya. Dengan melihat potensi alam yang kuat di wilayah pertanian, khususnya Indonesia, mestinya sektor pertanian yang paling diminati.

Alasannya mungkin sederhana, karena sektor pertanian tidak menjanjikan masa depan. Kenapa tidak menjanjikan? Sebenarnya selain karena cuaca, negara tidak terlalu memperhatikan kondisi objektif petani.

Ketiga, problem pasar, yang seperti cuaca, seperti negara, juga susah ditebak. Petani berhadapan dengan ketidakpastian harga pasar. Petani kecil tidak bisa berspekulasi untuk menanam tanaman pangan secara besar-besaran. Tidak seperti kapitalis yang bisa berspekulasi dengan produksi dan pasar.

Petani kecil tidak hanya bercocok tanam untuk modus produksi komersial, namun modus produksi pertanian adalah sekaligus modus konsumsi. Artinya bertani sekaligus untuk menyiapkan kebutuhan konsumsi langsung dan untuk dijual.

Jika gagal panen, berarti gagal besar. Kerugian petani kecil berarti selain kehilangan makanan pokok untuk membantu konsumsi rumah tangga, juga mengalami kerugian finansial. Inilah kenapa petani lebih memilih untuk “dahulukan selamat” (safety first).

Inilah jenis “etika subsistensi”, suatu kekhawatiran akan mengalami kekurangan bahan pangan, maka petani lebih memilih untuk dahulukan selamat, dengan cara tidak berspekulasi dalam mengolah lahan garapan. Karena cuaca, negara, dan pasar, sama-sama sulit dikontrol. Bahkan tidak bisa.

Misalnya kita bicara soal pertanian organik, pertanian tanpa bahan kimia. Pertanian ini tidak sekadar untuk konsumsi dan komersial, namun juga menjual ideologi (kesehatan dan protes pada rezim perdagangan dunia). Problem terakhir dari pertanian organik ada di pasar. Umumnya konsumen awam tidak membeli ideologi di pasar, hitungannya ekonomis: yang paling murah yang akan dibeli.

Atau misalnya, coba kita perhatikan harga komoditas pertanian, misalnya jagung dan cengkeh. Jika menghadapi panen massal harga akan terus berubah, turun drastis. Tidak ada skema yang bisa membuat harga pasar tidak anjlok sehingga akan merugikan petani kecil yang hanya memanfaatkan pasar sekitar sebagai distribusi hasil panen.

Inilah masalah di petani kita, bahwa hasil panen meski melimpah namun jika dihadapkan dengan pasar, melalui “tangan gaibnya” (padahal jelas terlihat, yaitu monopoli kapitalisme), harga akan hancur.

Dalam semangat Hari Tani Nasional ini, sebagai titik balik dari kekecewaan pada model pembangunan dan ekonomi yang kian tidak tumbuh di akar rumput, pertanian adalah skema yang perlu ditinjau kembali. Selain sebagai upaya cadangan pangan, juga untuk mendorong income per kapita.

Sesuai dengan tema Hari Tani Nasional tahun ini, melalui Serikat Patani Nasional (SPI): Percepatan Menyelesaikan Konflik Agraria dan Penguatan Kebijakan Reforma Agraria untuk Menegakkan Kedaulatan Pangan dan Memajukan Kesejahteraan Petani dan Rakyat Indonesia, bahwa kebijakan pemerintah perlu meninjau kondisi objektif petani di lapangan.

Spirit kekeluargaan dan reforma agraria yang perlu diambil jika kita ingin betul-betul memahami Hari Tani Nasional. Tidak sekadar judul-judulan saja. Namun kenyataan di lapangan berbalik badan dengan penjudulan.

Selamat Hari Tani Nasional! Jayalah selalu di darat dan di laut.

RELATED ARTICLES

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
- Advertisment -spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
- Advertisment -spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Most Popular

Recent Comments