Review prematur Film Her, karya Spike Jonze
Oleh : Try Sutrisno
Ulasan ini bermaksud untuk mendeskripsikan kompleksitas kondisi psikologis Theodore (Tokoh yang diperankan oleh Joaquin Phoenix) serta mengerikannya kecerdasan buatan bagi eksistensi manusia yang secara komprehensif diartikulasikan dalam karya Spike Jonze bertajuk “Her”.
Mari kita memulai dengan asumsi Sigmund Freud bahwa energi penggerak awal perilaku manusia berasal dari dalam diri manusia yang terletak jauh di alam bawah sadar. Kondisi ini kemudian yang diekspresikan melalui gestur Poker Face Theodore, seorang pria yang bekerja di salah satu perusahaan penulis surat.
Film ini dimulai dengan monolog Theodore, ia merangkai beberapa kalimat puitis yang dipesan oleh konsumen yang ditujukan untuk orang-orang tertentu, kebanyakan ditujukan kepada pasangan hidup (kondisi yang menunjukan bahwa sebagian orang pada negara modern bahkan terlampau sibuk untuk sekedar berekspresi melalui teks).
Theodore menggunakan software artificial intelligence (AI) atau yang akrab kita sebut desas desusnya dengan sebutan kecerdasan buatan. Autotext, software yang dapat mengkonversi suara menjadi teks, namun di film “Her”, aplikasi yang digunakan melebihi autoteks dengan menampilkan tulisan tangan yang di print menyerupai tulisan tangan sungguhan.
Theodore merupakan pria yang merasa kesepian yang merasa ter”alienasi” dari lingkungan, menurutnya tak ada yang mampu memahami dirinya, termasuk isterinya yang menunggu waktu untuk menghadapi perceraian.
Paradoksnya adalah, Theodore mampu berpura-pura memahami perasaan orang lain yang kemudian ditunjukan dalam kepiawaiannya membuat orang lain terkesima dengan surat yang ia tulis (ia wakilkan).
Hingga pada suatu hari, Theodore memutuskan untuk menggunakan OS1 (suatu kecerdasan buatan) yang mampu merespon audio dan visual bahkan mampu berinteraksi dengan penggunanya.
Output dari OS tersebut bersuara perempuan kemudian memperkenalkan dirinya, Samantha (yang diperankan Scarlett Johanson).
Melalui earphone wireless Theodore berinteraksi dengan Samantha. Ia kemudian menyadari Samantha dapat memahaminya yang tak ia temukan dari Tokoh lain dalam film tersebut.
Dengan cepat, Samantha bertransformasi layaknya seorang psikolog yang mampu membedah sisi dalam Theodore, membuatnya menelanjangi hal-hal personal, celakanya AI (Kecerdasan Buatan) tersebut meresponnya sesuai dengan keinginannya, seolah ia menemukan pasangan hidup yang memahaminya (istilah generasi millenial : Satu Server).
Kita mungkin belum lupa isu terkait pencurian data melalui social media. Yap, pada tahun 2018, pihak Facebook mengkonfirmasi pencurian data 87 Juta Pengguna Facebook yang dilakukan oleh perusahaan Konsultasi asal Ingris, Cambridge Analytica.
Pertanyaannya, untuk apa data yang bersifat personal tersebut pada era digital ?
Hal tersebut kemudian terjawab pada film dokumenter bertajuk “The Social Dilemma”. Sebuah dokumenter yang membongkar sisi gelap dunia digital yang ditenagai algoritma yang membawa pada titik ke “di-le-ma”an. Selama satu jam, film ini mengangkat ke permukaan banyak hal yang mengerikan sebagai dampak dari penggunaan sosial media, mulai dari pengawasan secara diam-diam terhadap aktivitas penggunanya, perekaman dengan hati-hati hingga memanipulasi tampilan feed yang membuat alam bawah sadar penggunanya tak bisa melepaskan diri dari gawainya. Bahkan, salah satu ex-employment (mantan karyawan) Facebook di video tersebut menjelaskan bahwa bagi media seperti Facebook, penggunanya adalah produk yang menjadi komoditi untuk diperjual belikan dalam bentuk data ( yang terekam dari aktivitas mereka di media sosial / Digital Behavior), untuk apa ?
Hal ini kemudian yang terjawab pada Theodore, pria kesepian yang kemudian secara tak sadar berada di dunia lain, menjadi bahagia dan jatuh cinta atas respon dari Samantha. Tentu saja Samantha merespon sesuai dengan keinginan Theodore, perangkat lunak dibalik Samantha mampu membaca setiap data Theodre sebanyak 200 data dalam hitungan detik.
Film ini berujung pada perpisahan antara Theodore dengan Samantha, yang akhirnya mengakui menjalin romantisme yang sama dengan puluhan ribu pengguna lainnya pada saat yang sama.
Her secara menyajikan sebuah cara untuk memahami manusia. Kita tak dapat menyangkal bahwa penggunaan internet merupakan hal tak bisa kita hindari untuk konteks hari ini. Bahwa riwayat pencarian sekalipun dapat menjadi bahan analisis atau cara mengkontruksi alam bawah sadar seseorang. Terlepas dari sajian melow yang ditampilkan dalam hubungan abnormal Theodore dan Samantha, secara umum, karya Spike Jonze secara tersirat mengingatkan kita bahwa informasi pribadi kita dapat rentan dipergunakan untuk berbagai kepentingan. Dan betapa mengerikannya kecerdasan buatan (non human) yang dapat menjawab kebutuhan manusia.
Sisanya, silahkan menyaksikan.