“Agama adalah candu”
Demikian kata Marx. Sebuah kosa kata yang begitu populer di kalangan aktivis sosial maupun keagamaan. Sebuah kalimat yang dipotong dari naskah A Contribution to the Critique of Hegel’s Philosophy of Right ini menjadi legitimasi dari banyak kalangan untuk mengutuk Marx. Bahwa Marx sangat bertentangan dengan agama, khususnya penganut Islam. Di era Orde Baru, kesalapahaman ini dibangun rapi dengan sistem politik, yang dibungkus dengan wajah agama hingga Marxisme tak lagi menjadi sebuah alat untuk menganalisa setiap wacana sosial yang ada. Sampai sekarang beberapa orang masih sangat alergi dengan Marx tanpa pernah dikritisi secara konteks (pengatahuan) yang menyeluruh.
Untuk itu, mari kita bicara soal bagaimana Islam bekerja dikehidupan sosial dan bagaimana Marx menjadi pisau analisi kita untuk melihat segala persoalan, khususnya melihat kelas pekerja.
Membahas Islam secara teologi, barangkali sudah menjadi keyakinan dasar mengapa kita beragama. Beragama berarti meyakini segala yang ada di dalamnya, hukum-hukumunya, juga segala tentang bagaimana manusia akan menjalaninya. Ahli-ahli menyebut itu adalah Tauhid. Secara garis besar, Islam adalah sebuah agama, sebuah Din, sebuah jalan hidup.
Lalu bagaimana dengan Islam, dan Pembebasan Sosial ?
Hal yang perlu kita pertanyakan adalah bagaimana Islam mendudukkan pembebasaan itu sendiri. Pembebasan dalam arti luas ‘progresif’. Seperti apakah pembebasaan adalah tujuan atau dampak Islam? Ataukah pembebasan adalah efek dari, dan tujuan daripada perjalanan kerasulan Nabi Muhammad SAW? Jika kemudian tujuan, apakah ada sebuah legitimasi dari AL-Qur’an dan Sunnah? Di kalangan ummat Islam sudah tidak lagi asing dengan istilah ‘pembebasan’ yaitu tahrir, yang dipakai di dalam AL-Qur’an. Di mana Al-Qur’an berbicara tentang pembebasan budak (tahrir raqabah). Tetapi bagaimana kita memahami istilah itu?
Istilah pembebasan itu sendiri, dapat kita asumsikan sebagai hasil dari misi kerasulan Nabi Muhammad SAW. Sebagaimana sejak awal perjalanan-Nya membebaskan manusia dari segala dominasi politeisme menuju Tauhid. Secara pengetahuan, politeisme adalam sebuah ajaran yang memberi legitimasi dan dominasi bagi yang kuat terhadap yang lemah. Ini kemudian menjadi efek dari pembebasan utama yang dimotori langsung Nabi Muhammad SAW dalam memberanguskan kezaliman antagonisme ontologis.
Perlu digaris bawahi, bahwa islam tidak memiliki konsep cetak-biru tentang kehidupan sosial, apalagi soal analisis sosial tertenu. Begitupun dengan Al-Qur’an, kalau kita melihat secara histori, maka Al-Qur’an adalah sebuah potret untuk kehidupan sosial masyarkat Arab saat itu. Di mana begitu jelas menggambarkan relasi sosial, relasi kelas, relasi kelompok, yang tercermin pada historia potret. Dalam masyarakat Arab yang terpotret di dalam Al-Qur’an, kita akan menemukan ada pengelompokan sosial tertenu. Seperti pemilikian pribadi, kekuasaan, kasta-kasta , dsb. Islam kemudian hadir untuk memperbaiki tatanan sosial masyarakat Arab dan pra-Arab tersebut. Islam secara bertahap mengubah tatan sosial masyarakat Arab dan pra-Arab, (Tadriji) adalah upaya untuk menghapus tatanan sosial yang membelenggu, juga (takatsurI) Islam menawarkan zakat dan infak, juga (syura) adalah untuk mengubah sistem herarki atas kelas-kelas kuat terhadap yang lemah guna mencapai sebuah hakdan kewajiban yang sama sebagai hamba.
Jadi di satu sisi, Islam tidak hanya bicara soal fiki ibadah toh saja. Namun Islam juga bicara soal bagaimana pembebasan itu sendiri. Bisa dilihat, Islam secara masif mengubah tatanan suprastruktur yang herarki dalam masyarakat Arab saat itu. Sementara di sisi lain, ada semangat pembebasan yang kemudian menjadi sebuah pemahaman yang disebut moral perjuangan. Ini sudah tentu menjadi dasar bagaimana kita melihat misi kerasulan, yang, tidak hanya bersifat teologi dogmatis, melainkan juga memiliki corak teologi pembebasan untuk kaum yang telah di tindas. Misi kerasulan tentang penghapusan kepemilikan pribadi terhadap kekuasan dengan jalan zakat dan infak telah mandeg karena sejarah politik Islam terus berlanjut dari waktu-waktu. Salah satunya adalah sistem monarki yang dibangun oleh Bani Umayyah.
Yang perlu kita tahu adalah nilainya, semangat misi kerasulan yang membelah kaum lemah, memutuskan kepemilikan pribadi, adalah sebuah pranata baru dalam Islam untuk transmormasif sosial yang lebih adil.
Bagaimana Islam, Marx, dan Pembebasan Sosial di Indonesia?
Pembebasan sosial mestinya dijadikan sebagai motivasi Islam atas segala perjuangan dalam memerangi kebatilan dan kemungkaran, serta menegakkan keadilan. Karena sudah jelas, bicara Tauhid adalah syarat utama memahami Islam secara umum, dan manusia sudah memiliki itu sebelum akhirnya, manusia diputuskan menjadi khalifa di muka bumi. Selesai Tauhid, sekarang urusan manusia adalah untuk menjaga bumi, citpaan Tuhan tentunya. Mengakui adanya Tuhan, berarti sudah siap menerima segala bentuk ciptaanya (Makrokosmos dan Mikrokosmos). Tidak hanya itu, manusia harus berlaku adil dan mampu menjaga ciptaanya dari setiap kerusakan yang dilakukan oleh segelintir orang (Kekuasan).
Di Indonesia khususnya, sosial budaya, politik, pendidikan sama sekali berbeda dengan masyarakat Arab. Seperti yang kita ketahui, sebelum ajaran Islam tentang keadilan di terapkan, masyarakat Indonesia sudah lebih dulu menerapkan konsep keadilan, tentang bagaimana hidup dan menjaga alam, laut dll. Jika ditelisk pada budaya dan lokalitasnya, sebelum akhirnya kolonial menjajah dan merubah tatanan yang ada. secara garis besar, arus politik masyarakat pribumi dan kolonial jauh berbeda.
Dalam aspek sosial tertentu, kita membutuhkan sebuah istrumen untuk melihat lebih jauh bagaimana konflik yang di hadapai Nabi Muhammad SAW dan dampaknya hingga kini. Tentu pembacaan kita pada tataran misi kerasulan untuk menegakkan keadilan, cukup terbilang berbeda ketika di perhadapkan dengan situasi sosial dan kesajarahan Indonesia. Misal, pembacaan kita pada kelas pekerja di masyakarat Arab dan Pra-Arab dengan era di mana Indonesia hari ini, sudah menjadi wadah untuk semua industri. Maka sangat penting Marx menjadi sebuah istrumen pikiran untuk membaca semua konflik horizontal maupun vertikal yang ada.
Memang tak bisa dipungkiri, bahwa Marx dan Nabi Muhamma sangat jauh berbeda. Apalagi Islam dan Marx, tentu Islam lebih besar daripada Marxisme.Tapi perlu diketahui, Marx adalah sebuah alat analisa atau sebuah teori untuk membaca aspek sosial kentemporer. Seperti pada rana epistemologis materialisme dialektika bisa kita persenyakan dengan materialisme historis, untuk menjadkan basik pengetahuan dasar untuk membaca proses sejarah yang selalu berubah-ubah dalam konteks perjuangan kelas. Pada tataran asksiologis, yaitu nilai perjuangan, memerangi ketidakadilan, penindasan, dan segala berkaitan dengan pembebasan sosial, maka Islam dan Marxisme sangat komprehensif dalam situasi-situasi yang tertentu.
Apakah Islam Menjadi Pendekatan yang Baik Untuk Memperjuangkan Keadilan Sosial?
Agama sebenarnya tidak memiliki justifikasi khusus untuk menyelesaikan seluruh dinamika sosial, ada beberapa bagian tertentu yang mesti diselesaikan secara sendiri. Itu sebabnya, Nabi Muhammad SAW suatu saat bersabda: “Kalian lebih tahu dengan urusan dunia kalian.” Artinya, ada hal-hal yang kadang harus berkembang dengan dinamika masyarakat, dan tidak selamanya harus memakai justifikasi agama. Seperti seperti kata Gus Dur, agama terkadang memiliki keterbatasan ketika harus menjadi solusi yang tuntas bagi semuanya. Agama membutuhkan pengetahuan untuk bisa menjadi wadah dalam setiap persolan maupun ketimbangan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah apakah fikih kita sudah mampu menjawab ketimpangan sosial di tanah air yang penuh dengan kapitalisme? Apakah bank syariah adalah suatu model untuk melawan kapitlisme? Tidak terjawab sampai hari ini. Karena pada dasarnya belum ada satu hukum fikih yang mengatakan bahwa menggusur tanah rakyat adalah haram. Padahal rusaknya sebuah tatanan sosial adalah penumpukan harta dengan cara mengeksploitasi yang lain. Maka perlu adanya sebuah sintesa baru dari agama untuk menjalani hidup yang benar-benar adil di sosial secara kontekstual.
Barangkali betul, Al-Qur’an tidak mengenalkan istilah proletar, sebab istilah itu baru saja ada di abad ke-19. Al-Qur’an hanya mengenalkan secara umum bagaimana al-fuqara’ wa al-masakin,al-aghniya, dan al-mustadl’afin. Bisa saja, dalam kacamata pembacaan sosial saat ini, seperti al-aghniyaitu adalah para pemodal (kapitalis) dan al-mustadl’afinadalah kaum proletar. Justru yang sangat penting untuk merumuskan sebuah fikihyang, lebih luas berbicara pada ketimpangan sosial untuk melindungi semua kepentingan rakyat dari semua ketimpangan yang dilalukan oleh struktur kapitalisme. Dewasa ini, fikih hasil ijhtihad ulama di Indonesia, dalam satu sisi mendukung atau melegitimasi lajunya kapitalisme secara sosial ekonomi. Tapi jarang sekali menahan lajunya kapitalisme. Itulah sebabnya, kapitalsime, sosialisme, khususnya di Indonesia, masih menjadi perdebatan panjang antara aktivis kiri dan para pemuka agama.
Penulis : Ariyadi Rusdi