DetailNews.id – PARADIGMA KRITIS SEBAGAI EPISTEMOLOGI GERAKAN PERUBAHAN SOSIAL SEKALIGUS MEMENANGKAN WACANA PUBLIK
Oleh : Rusmin Hasan, Pegiat Literasi Sulawesi Utara
Kian hari-hari ini, dunia bahkan indonesia dihadapi situasi ketegangan menghadapi pandemi Covid-19 yang sampai saat ini, belum ada tanda-tanda kepulihan kearah yang membaik. Bukan hanya itu, namun yang lebih krusial krisis multidimensi pada aspek ekonomi, ekologi, politik, demokrasi, krisis humanisme dan kebudayaan bahkan hilangnya wacana kritis ditengah ruang publik. Akankah bangsa ini, bisa keluar dari pusaran geopolitik global saat ini? atau akan mengalami tanda-tanda kepunahan dalam menangani patologi sosial dibangsa ini? Atau akan ada kelompok intelektual yang mengorganisir entitas-entitas patalogi sosial atau penyakit-penyakit sosial masyarakat diatas?
Problem sosial diatas ngaris terdengar dalam gerakan sosial kaum intelektual bahkan tak termanivestasi dalam wacana dialogis paradigma kritis kaum intelektual untuk mengisi ruang publik sebagai ikhtiar membangun gerakan transformasi prubahan sosial masyarakat, Kenapa harus paradigma kritis sebagai epistemologi membaca bahkan memenangkan wacana sosial kontemporer?. Penulis memilih paradigma kritis ini, karena secara aktual melihat kondisi objektif sebagian besar intelektual kian hari-hari ini, mengalami krisis pembacaan fenomena sosial bahkan ngaris dengar gerakan-gerakan intelektual dan gerakan sosial. Ada satu fenomena sosial intelektual yang menampilkan momok yang sangat menakutkan yang saya istilahkan sebagai kematian intelektual. Kenapa sampai saya istilah sebagai kematian intelektual? disebabkan kecenderungan ketergantungan terhadap gitalisasi yang berlebihan, sehingga acap kali kita melihat Gren Cultur iintelektual mulai mati, dari dasar pikir tersebut. Sehingga penulis memberikan alternatif paradigma kritis sebagai epistemologi membaca fenomena sosial ditengah krisis multidimensi diera deskruptif saat ini. Dan ada berbagai alasan yang mendasarinya, antara lain :
Secara Internal, pertama; teori ini menerima pandangan tentang perlunya kategori imperatif paham ilmu-ilmu sosial yang sejalan dengan argumen yang mendukung interperatif. Dan model kritis menyetakan bahwa untuk memilki pokok bahasan (subjet matter) seorang harus mempunyai maksud dan keinginan para pelaku yang diamatinya dan juga aturan serta makna konstitutif tatanan sosial mereka. Untuk melakukan ini semua maka digunakan pola pikir kritis.
Kedua, Menghindari sebuah kegiatan yang mempunyai asumsi kebetulan. Yaitu dengan cara membongkar sistem hubungan sosial yang menentukan tindakan individu. Dalam bahasanya Paulo freire adalah kesadaran kritis (critical consciusns). Model berfikir kritis merupakan model yang menuntut bahwa para praktikusnya berusaha untuk menemukan kaidah kuasi-kausal darn fungsional tentang tingkah laku sosial dalam konstalasi kehidupan sosial sehari-hari.
Ketiga, Teori kritis bagaian dari ilmu-ilmu soaial yang dapat digunakan untuk mengeksplor tentang teori-teori ilmiah sekaligus dalam penyikapan terhadap realitas sosial yang berkembang.
Model berfikir paradigma kritis ini menganggap hubungan yang tersembunyi antara teori dan praktek sebagai salah satu titik tolaknya, dan ini berarti bahwa model ini mempertalikan pendirian pengetahuannya dengan pemuasan tujuan dan keinginan manusia.
Secara Eksternal, paradigma kritis sangat berfungsi untuk, pertama; masyarakat indonesia adalah masyarakat plural (majemuk) yang terdiri dari suku,,agama, ras (etnis) dan tradisi, kultur maupun kepercayaan. Pluralitas bangsa inilah yang menyimpan kekayaan akan konflik yang luar biasa. Disi lain ternya pluralitas terkadang dipahami sebagai pembatas (penghalang) ideoloi antara komunitas satu dengan komunitas yang lain. Kondisi seperti inilah akan lebih tepat digunakannya paradigma kritis, karena paradigma ini akan memberikan tempat yang sama (toward open and equal society) bagi setiap individu maupun kelompok masyarakat untuk mengembangkan potensi diri dan kreativitasnya secara maksimal melalui dialog terbuka, transparan dan jujur. Dengan bahasa sederhananya “memanusiakan manusia”.
Kedua, masyarakat Indonesia saat ini telah terbelenggu oleh nilai-nilai kapitalisme modern yang dapat mengakibatkan ketergantungan bagi masyarakat setiap adanya suatu perubahan (hanyalah meniru dan mengikuti) dengan asumsi siapa yang tidak melakukannya maka dia akan ditinggalkan dan dipinggirkannya oleh perkembangan jaman. Hal ini tanpa disadari telah mengekang dan memandulkan kesadaran rakyat untuk mengembangkan kreativitas dan pola pikir, dengan meminjam istilah Mark, bahwa kapitalisme inilah yang mengakibatkan manusia terasing (alienated) dari diri dan lingkungannya. Dalam kondisi inilah peradigma kritis menjadi keniscayaan untuk diterapkan.
Ketiga, selama pemerintahan Orde Baru, pemerintahan dijalankan dengan cara hegemonik-militeristik, yang mengakibatkan ruang publik masyarakat –atau dalam bahasa Habermas, public sphere menjadi hilang. Dampak dari sistem ini adalah masyarakat dihinggapi budaya bisu dalam berkreasi, berinovasi, maupun melakukan pemberontakan. Lebih radikal lagi, seluruh potensi dan kekuatan pemberontakan atau jiwa kritisisme yang dimiliki telah dipuberhanguskan dengan cara apapun demi melenggangkan kekuasaan status quo negara. Melihat fenomena seperti ini maka perlu untuk dilakuknnya sebuah pemberdayaan (empowerment) bagi rakyatIndonesia sebagai artikulasi sikap kritik dan pemberontak terhadap negara yang totaliter – hegemonik. Untuk melakukan upaya empowerment, enforcemen (penguatan), sekaligus memperkuat civil society dihadapan negara melalui paradigma kritis sebagai pola pikir dan cara pandang masyarakat kita agar rakyat dan negara mmempunyai posisi setara (equal).
Keempat, menghancurkan paradigma keteraturan (order paradigm). Karena penerapan paradigma keteraturan ini, pemerintah harus menjaga harmoni dan keseimbangan sosial (sicial harmony), sehingga gejolak sekecil apapun harus diredam agar tidak mengusik ketenangan semu mereka. Dengan paradigma inilah masyarakat akan dijadikan robot yang hanya diperlakukan sana-kemari tanpa memberikan kebebasan mereka untuk berfikir dan berkreasi dalam mengapresiasikan kemauannya. Untuk melakukan pemberontakan atas belenggu dan kejumudan berfikir semacam itu, maka diperlukan paradigma kritis.
Kelima, masih kuatnya belenggu dogmatisme agama dan tradisi. Sehingga secara tidak sadar telah terjadi pemahaman yang distortif tentang ajaran dan fungsi agama. Lebih parah lagi ketika terjadi dogmatisasi agama sehingga kita tidak bisa membedakan lagi mana yang dianggap dogma dan mana yang dianggao sebagai pemikiran. Akhirnya agama terkesa kering dan kaku, bahkan tidak jarang agama menjadi penghalang bagi kemajuan dan upaya penegakan nilai-nilai kemanusiaan. Sementara disisi lain agama hanya dijadikan komoditas kendaran atau lokomotif bagi kepentingan politik (kekuasaan) oleh kelompok tertentu. Dengan terma-terma agama, masyarakat menjadi terbius dan tidak mampu untuk melakukan kritik. Dengan demikian sangatlah perlu untuk mengembalikan fungsi dan ajaran agama. Upaya tersebut adalah dengan mengadakan rekontruksi/dekontrusi (pembongkaran) pemahaman masyarakat melalui paradigma kritis. Dan harus diakui pula bahwa agama diposisikan sebagai poros moralitas dan mampu menjadi inspirator dalam moral forcement dalam seluruh kehidupan berbangsa dan bernegara. Dari sinilah agama akan benar-benar kembali kefitrohnya, yakni melahirkan dan menjaga perdamaian dimuka bumi.
Paradigma kritis Dan Ikhtiar Memenangkan wacana Publik Sekaligus Gerakan Perubahan Sosial Masyarakat
Mencermati lajunya pusaran gitalisasi diera Modern yang makin pesat dan hilang orientasi gerakan perubahan sosial masyarakat oleh kelompok intelektual dan makin diperpapa oleh patalogi sosial kondisi masyarakat dewasa ini. Maka kiranya alternatif paradigma kritis adalah ikhtiar epistemologi gerakan sosial untuk mengembalikan pusaran gerakan intelektual kembali untuk mentransformasikan nilai-nilai pencerahan, pembebasan sekaligus menumbuh nalar kritis manusia modern. Sumbangsi paradigma kritis terhadap ilmu pengetahuan lahir untuk membebaskan manusia dari segala belenggu dominasi. Dan kaum intelektual sebagai benteng peradaban masyarakat harus memiliki paradigma kritis sebagai aktualisasi membaca fenomena sosial, memenangkan wacana, membebaskan masyarakat modern sekaligus sebagai kanter sosial ditengah menguatkan pusaran gitalisasi. Dari situlah gerakan perubahan sosial masyarakat akan kita wujudkan semata-mata untuk menciptakan masyarakat adil dan makmur yang Diridhoi Tuhan Semesta Alam.
Penerapan Paradigma Kritis
Diatas telah banyak dikupas tentang mengapa digunakannya paradigma kritis dalam ruh intelektual baik didalam kajian komunitas atau organisasi sebagai eksplorasi pemikiran menuju tindakan. Maka dalam penerapannya tetap akan melihat realitas yang terjadi dan sepenuhnya merupakan proses dialektika pemikiran manusia. Sehingga jangan heran ketika kawan-kawan sebagai komunitas pemikir. Dalam hal ini paradigma kritis diberlakukan hanya sebagai kerangka pikir (manhaj al-fikr) dalam analisis dalam memandang persoalan. Tentunya dia tidak dilepaskan dari ketentuan ajaran dan nilai-nilai agama. Dan bahkan ingin mengembalikan dan menfungsikan ajaran agama sebagaimana mestinya. Konteks inilah paradigma kritis tidak berkutat pada wilayah hal-hal yang bersifat sakral. namun lebih pada persoalan yang bersifat profan. Lewat paradigma kritis persoalan-persoalan yang bersifat profan dan sakral akan diposisikan secara propesional. Dengan kata lain paradigma berusaha untuk menegakkan sikap kritis dalam berkehidupan dengan menjadikan ajaran agama sebagai inspirasi dan motifasi untuk melakukan kekhalifahan dimuka bumi (kholifah fi al-ardh).
Setidak-tidaknya ada (tiga) hal, yang harus dilakukan dalam mengaktualisasikan pemikiran menuju sebuah tindakan, yakni ; Pertama, mengadakan pembongkaran terhadap ideologi, dengan memberikan kebebasan dari semua rantai penindasan dalam kehidupan ekonomi maupun keimanannya. Pembongkaran-pembongkaran ini kiranya bisa dilakukan dengan berfikir secara kritis terhadap dogma-dogma. Masyarakat tidak begitu saja menerima ajaran agama yang disampaikannya, namun bagaimana masyarakat agama juga berhak melakukan tafsiran-tafsiran atas segala nilai dan pranata agama yang selama ini mereka anut.
Proses kritisisme dan interpretasi atas ajaran agama bukan berarti memberikan peluang untuk memberikan peluang untuk menghancurkan agama itu sendiri, namun justru sebaliknya bagaimana agama ditempatkan pada posisi atas agar tidak digunakan oleh kepentingan-kepentingan tertentu. Proses kritik ini tidak saja dilakukan terhadap dogmatisme agama, namun juga budaya, tatanan masyarakat, dan pemikiran-pemikiran sosial yang ada. Dengan berfikir kritis, maka akan terjadi dialektika dan dinamika dalam kehidupan.
Kedua, menyingkirkan tabir hegemonik. Penyingkiran terhadap tabir hegemonik tidak hanya bermuara pada penguasa saja, namun juga tidak menutup kemungkinan pada kalangan intelektual sendiri atau yang lain. Untuk mengaplikasikan paradigma kritis ini tentunya intelektual harus benar-benar menyatakan sikap perjuangannya untuk terlibat (involve) langsung dalam membangun bangsa dan negara dengan tetap memperjuangkan kepentingan rakyat banyak.
Ketiga, Semangat religius dalam membangun semangat kebangsaan dan pluralisme yang tetap berada dalam frame dan semangat religiusitas dengan tidak meninggalkan wilayah sakral beragama, namun juga dapat masuk dalam wilayah profan agama. Sehingga dalam perjalanannya tidak akan terbentur dengan kelompok konservatisme yang didalamnya.
Kempat, Paradigma kritis sebagai sala satu paradigma alternatif sekaligus kritik paradigma tradisional istrumental yang hanya menjelaskan realitas apa adanya ataupun hanya sekedar membuka tabir makna atas realitas sosial, tanpa adanya upaya melakukan perubahan kearah kehidupan yang lebih baik. Melalui paradigma kritis, kita berupa menciptakan pencerahan, gerakan emansipatoris untuk membebaskan masyarakat dari segala belenggu, ekspolitasi, penindasan sekaligus dominasi klas kapitalisme dan mengembalikan krisis humanisme atau kemanusiaan ditengah lajunya era gitalisasi modern.
Dari penerapan paradigma kritis diatas tersebut sebagai epistemologi gerakan perubahan sosial dan memenangkan wacana publik. Produk dan distribusi wacana didalam ruang publik, diberbagai sektor sangatlah urgen untuk dimenagkan oleh kelompok intelektual. Ide atau gagasan serta konstruksi realitas publik harus diorganisir oleh kelompok intelektual untuk melawan hegomoni elit terhadap situasi dan ancaman terhadap rakyat. Hal ini, sangatlah penting untuk menetrasi kesadaran berfikir publik tentang diskursus yang kuat sekaligus sebagai kanter sosial atas kuatnya arus gitalisasi saat ini. Memenangkan wacana bukan hanya sekedar perceteruan pikiran rasional, namun ia juga sebagai penguatan demokrasi. Artinya sebelum memengkan demokrasi kita harus memenagkan wacana publik sehingga publik diskursus diarahkan pada perceteruan pikiran-pikiran rasional baik itu, dikalangan intelektual, akademisi, bahkan masyarakat pada umumnya. Lalu bagaimana pola strategisnya?
Syarat pertama yang harus dimiliki oleh kelompok intelektual adalah memperdalam kekayaan pikiran kritis, dan ini tentuh dibangun atas dua hal:
Pertama, Kekayaan orisinal referensi oleh kaum intelektual
Kedua, Kemampuan mengeksplorasi ide dan memformulasikan untuk menjawab tantangan zaman modern.
Ketiga, Kematangan pengetahuan dan ideologis gerakan sebagai pandangan dunia realitas untuk membentengi peradaban masyarakat dan masa depan kebangsaan, dan keumatan.
Kempat: Kemandirian fikiran dan Tindakan sekaligus kemandirian ekonomi dan struktur politik.
Kelima, Kemampuan mengargumentasikan bahasa yang tepat, dengan struktur kesadaran melalui kaidah-kaidah logika sekaligus mengelaborasi pikiran kita dengan suasana kebutuhan rakyat.
Agenda kemanusiaan dan pencerahan inilah hendak harus kita bumikan ditengah komplesitas problem sosial masyarakat. Melalui narasi singkat ini, sebagai ikhtiar gerakan sosial yang harus kita miliki bersama bahkan mengimplementasikan kepada masyarakat bahkan mempengaruhui pusaran kesadaran publik untuk menuju keteraturan sosial ditengah krisis multidimensi hari-hari ini. Memenangkan wacana bukan hanya sekedar menguasai media, namun yang paling penting adalah mempengaruhui pikiran publik terlebih khusus masyarakat untuk satu visi sebagai propogandis gerakan sosial untuk melawan rezim yang otoretarianisme. Dalam artian mempengaruhui dan menyusun pikiran mereka sesuai dengan cara yang kita inginkan. Dari situlah, menurut hemat saya, ikhtiar gerakan perubahan sosial akan kita wujudkan secara praksis demi terciptakan masyarakat adil dan makmur yang diridhoi Tuhan Yang Maha Esa.
“Masa depan peradaban kebangsaan dan keumatan berada pada tangan pemikir, kaum intelektual ( Cak Nur )”.