Kita tak bisa menutupi bahwa ke dua paslon pun secara sistematis membangun frame identitasnya masing-masing, pasangan calon (paslon) dengan nomor urut 01 dengan lentur menggunakan identitas Pancasilais dan paslon dengan nomor urut 02 tampak maskulin memainkan identitas Agama. Alhasil, silang paham dapat dijumpai di mana-mana, bahkan oleh mereka yang tidak memiliki kepentingan politik, atau bahkan tidak menyadari apa yang tengah mereka perjuangkan, euforia berlebihan, metafora yang destruktif lebih tepatnya di set up untuk berlebihan.
Dari sekian banyak perbedaan diantara ke duanya, saya melihat adanya kesamaan pola ke dua paslon tersebut, ke duanya merasa benar dengan benturan yang mereka ciptakan demi memenangkan kontestasi politik, bisa dikatakan ke dua paslon memainkan pola Machiavellian. Jokowi misalnya, berangkat dengan frame lentur “Pancasilais”, petahana bisa dikatakan terlalu offensive. Petahana mengkapitalisasi politik hukum, salah satunya dengan perpu ormas. Hal ini secara langsung mempersempit manuver kubu lawan yang pendukungnya mayoritas dari kalangan ormas Islam EF PE ii. Hal ini linear dengan pemikiran Machiavelli bahwa “tujuan stabilitas berbenturan dengan prinsip kebebasan berserikat dalam berdemokrasi” (The End Justifies the mean)
Sementara Prabowo dengan frame nasionalis kanan dengan basis massa dari golongan Islamis kerap menggunakan isu kebocoran kekayaan , bangkitnya PKI,ditambah pendukung dari tokoh agamawan yang menakut nakuti jemaatnya agar memilih Prabowo, serta menjangkitkan ke khawatiran teori kehancuran bangsa sebagai menu kampanye nya. Lagi-lagi pola ini linearndgn pemikiran Machiavelli bahwa ” Penguasa lebih kuat ketika ditakuti ketimbang dicintai oleh rakyatnya”.
Ironi, drama berkepanjangan itu harus berakhir dengan safari Politik rekonsiliasi Prabowo pasca kekalahan. Dan di tutup dengan masuknya Prabowo dalam kabinet Jokowi. Duo Machiavellian ini saling rangkul.
Konklusi:
Demikianlah itulah demokrasi, meskipun dalam praktiknya memerlukan cost yang cukup besar, Demokrasi bisa disebut sebagai tata politik terbaik saat ini. Demokrasi berpijak pada dimensi terdalam bahwa secara hakikat, setiap manusia memiliki derajat yang setara. Oleh karenanya dalam demokrasi setiap orang memiliki hak yang sama untuk diperlakukan adil di hadapan hukum dan tata politik yang ada. Bagaimana pun prosesnya, se “dramatik” apapun eskpresinya, perlu ditekankan bahwa dalam demokrasi, setiap posisi kepemimpinan politis lahir dari rahim rakyat. untuk itu, sudah sepatutnya tolak ukur tertinggi atas setiap keputusan politis ataupun kebijakan dari mereka yang terpilih melalui proses demokrasi adalah kepentingan rakyat.
Try Sutrisno