spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
- Advertisment -spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
- Advertisment -spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
BerandaPemiluPenerapan Sistem Pemilu dan Konsekuensinya di Indonesia

Penerapan Sistem Pemilu dan Konsekuensinya di Indonesia

DetailNews.id – Indonesia merupakan negara demokrasi yang dimana sebuah keputusan berada ditangan rakyat. Demokrasi adalah sebuah sistem pemerintahan yang diharapkan mampu menjawab kepentingan masyarakat melalui pemilu yang bebas dan adil. Salah satu ukuran keberhasilan demokrasi adalah berfungsinya pemerintahan atau the functioning of government, di mana pemerintah bersikap bersikap terbuka, melayani sepenuhnya kepentingan rakyat, memiliki mekanisme akuntabilitas dan checks and balances dan mampu menghasilkan keputusan politik dalam mengatasi krisis.

Dalam negara demokrasi sistem pemilu merupakan bagian elemen penting dalam praktik berdemokrasi dimana negara hadir merumuskan langkah-langkah stretegis untuk mencapai tujuan bernegara yakni masyarakat adil sejahtera. Itu kenapa, sistem pemilu tidak sebatas bagaimana ngitungin hasil coblosan jadi kursi kekuasaan tetapi lebih dari itu bagaimana negara menjadikan proses akhirnya sebagai pintu masuk menuju pembangunan ekenomi nasional. Untuk mencari betuk ideal sistem pemilu yang mampu menjawab kebutuhan rakyat maka perlu sebuah proses yang panjang agar mendapatkan demokrasi yang berkualitas dan menemukan pemimpin yang lahir dan berpihak dengan kepentingan rakyatnya.

Didalam pemilu ada empat elemen kunci yang dijadikan  tolak ukur  penyelenggaran pemilu demokratis atau tidaknya yakni sistem kepartaian, sistem pencalonan, sistem perhitungan suara dan sistem pemberian suara. Untuk melihat bagimana sistem pemilu bekerja kita bisa memotret perjalanan sejarah sistem kepemiluan kita di Indonesia, dari periodesasi pemilu selalu ada perubahan dan dinamika tersendiri, meski kita tahu sejak pemilu pertama 1955 diera orde lama kemudian orde baru  sampai dengan reformasi belum menemukan bentuk ideal dari sistem pemilu itu sendiri.

Diskursus terkait sistem pemilu sudah sering dilakukan oleh banyak kalangan baik akademisi yang konsen isu kepemiluan, pegiat pemilu, pemantau dan mahasiswa. Hanya saja kita selalu diperhadapkan dengan sejumlah catatan evaluasi terkait sistem pemilu yang dianggap merugikan peserta pemilu dan membuka ruang praktik politik uang serta hak konstitusi warga negara yang memberikan suara.

Nah, Sistem pemilu itu sendiri merupakan alat untuk menyeleksi para pengambil keputusan melalui cara-cara yang disepakati secara sah dimana tiap warga negara berhak untuk secara bebas memilih calon pilihannya sendiri, dan tiap kandidat memiliki kesempatan yang sama untuk berjuang meyakinkan pemilih agar memilih dirinya di bilik suara. Dengan demikian melalui pemilu, tercipta perputaran kekuasaan yang memadai dengan kesempatan yang terbuka luas bagi siapa saja yang memiliki kemampuan dan keahlian. Pemilu memungkinkan munculnya pemimpin-pemimpin politik baru yang diharapkan memiliki kemampuan yang lebih baik.

Setiap negara memiliki sistem pemilihan umum yang berbeda begitu Indonesia dimana sistem pemilunya mengadopsi bentuk praktik the electoral system families yang jadi rujukan negara-negara demokrasi. Perbedaan sistem pemilu itu diakibatkan oleh banyak hal mulai dari berbedanya sistem kepartaian, kondisi sosial dan politik masyarakat, jumlah penduduk, jenis sistem politik, dan lain sebagainya. Sebab itu, pilihan atas sebuah sistem pemilihan umum menjadi perdebatan sengit di kalangan partai politik. Namun, apapun dasar pertimbangannya, sistem pemilihan umum yang ditetapkan harus memperhatikan serangkaian kondisi. Kondisi ini yang membimbing pemerintah dan partai politik guna menetapkan sistem pemilihan umum yang akan dipakai.

Sistem pemilu yang digunakan oleh Indonesia dan konsekuensi atas penerapan sistem pemilu itu sendiri.

Ada sejumlah pengertian sistem pemilu yang dikemukakan oleh para ahli, Dieter Nohlen misalnya  mendefinisikan sistem pemilihan umum dalam 2 pengertian, dalam arti luas dan dalam arti sempit. Dalam arti luas, sistem pemilihan umum adalah segala proses yang berhubungan dengan hak pilih, administrasi pemilihan dan perilaku pemilih. Lebih lanjut Nohlen menyebutkan pengertian sempit sistem pemilihan umum adalah cara dengan mana pemilih dapat mengekspresikan pilihan politiknya melalui pemberian suara, di mana suara tersebut ditransformasikan menjadi kursi di parlemen atau pejabat publik.

Definisi lain diberikan oleh Matias Iaryczower and Andrea Mattozzi dari California Institute of Technology. Menurut mereka, yang dimaksud dengan sistem pemilihan umum diterjemahkan suara yang diberikan saat Pemilu menjadi sejumlah kursi yang dimenangkan oleh setiap partai di dewan legislatif nasional. Dengan memastikan bagaimana pilihan pemilih terpetakan secara baik dalam tiap kebijakan yang dihasilkan, menjadikan sistem pemilihan umum sebagai lembaga penting dalam demokrasi perwakilan.

Sebagai variabel yang berpengaruh dalam demokrasi, sistem pemilu merupakan elemen demokrasi yang paling mudah dipengaruhi, sehingga rekayasa sistem politik (political engineering) dapat dimulai dari sistem pemilu. Rekayasa Sistem Pemilu (electoral engineering) dapat dilakukan melalui intervensi pada perangkat teknis sistem pemilu diantaranya jenis pencalonan kontestan, cara pencoblosan suara, pembagian daerah pemilihan, jurus perhitungan, dan penyelenggara pemilu.

Kita coba melihat bagimana konteks jenis pencalonan kontestan misalnya dimana calon pemimpin akan dipromosikan oleh partai pendukungnya sambil memberitahukan wacana wacana istimewa yang akan dibuat bagi kemajuan pembangunan didalam negeri jika terpilih nanti. kampanye yang dilakukan agar masyarakat bisa melihat, mengetahui, memahami, menyelami latar belakang calon pemimpin dan memilih calon pemimpinnya yang sesuai dengan tujuan mereka. Meski kita tahu masalah sering muncul dalam proses pencalonan dan kampanye mulai dari proses penjaringan calon oleh partai, black campaign, politik SARA dan lain-lain. Belum lagi kita melihat sejumlah potensi pelanggaran yang terjadi dalam kacamata mekanisme pencoblosan suara, pembagian daerah pemilihan, jurus perhitungan, dan penyelenggara pemilu.

Ada terdapat empat variabel dalam the electoral system families diantaranya system Pluraly/Majority, Mixed/campuran, Propotional representation dan lain-lain. Nah, system Pluraly/Majority sendiri di Indonesia biasa disebut Sistem Distrik. Dalam konteks system pluralitas, sistem pemilunya menetapkan pemenang pilpres berdasarkan perolehan suara terbanyak murni, berapa pun suara yang diperoleh pasangan calon. Sedangkan kalau sistem pemilu mayoritas, maka dia harus memperoleh suara mayoritas yaitu 50 persen plus 1. Mayoritas bukan hanya suara terbanyak, tapi mayoritas yang memperoleh 50 persen plus 1, artinya dia mengungguli yang lain. Dalam penyelenggaran pemilu, system plurar/mayority ini biasanya digunakan oleh negara amerika serikat begitu juga Indonesia, tapi dalam kasus indonesia sendiri terjadi dalam periode pilpres 2004 sampai dengan pemilu 2014.

Kemudian system mixed/campuran, Sistem pemilu campuran pada dasarnya adalah memilih anggota parlemen dimana sebagian dipilih melalui sistem proporsional dan sebagian dipilih melalui sistem mayoritarian. Sistem pemilu campuran ini disebut-sebut mampu menggabungkan kelebihan dari dua sistem sekaligus. Dia akan mendorong kebaikan dari sistem proporsional dan di sisi lain juga akan menerapkan tingkat kebaikan dari sistem mayoritarian. Gabungan dari keunggulan dua sistem ini yang diterapkan pada pemilu campuran. Sistem pemilu campuran ini ada dua yaitu mixed member proportional (MMP) dan mixed member majoritarian (MMM).

Dalam sistem pemilu campuran, proporsional yang digunakan adalah proporsional tertutup. Sejumlah negara yang menerapkan sistem campuran pasti menggunakan proporsional tertutup. Kombinasi dengan proporsional terbuka hampir tidak ada. Memilih calon akan dilakukan melalui sistem mayoritarian. Sistem pemilihan campuran menggabungkan antara keterwakilan dengan kondisi geografis dalam suatu negara, sehingga pemilihan tidak menghilangkan suara minoritas juga memiliki mekanisme keterwakilan berdasarkan wilayah untuk meningkatkan representasi kedaulatan rakyat. Di Indonesia mekanisme proporsional tertutup pernah dipraktekkan sejak periode pemilu 1955 sampai dengan 1999.

Alasan dari penggunaan Sistem proporsional menjawab kelemahan-kelemahan yang ditemukan dalam sistem distrik yaitu dianggap lebih mewakili suara semua kelompok masyarakat karena suara kandidat yang kalah tetap diperhitungkan, sehingga potensi suara hilang dapat diminimalisir dan partai-partai kecil tetap dimungkinkan untuk memiliki wakil di lembaga perwakilan. Kelemahan dalam sistem ini adalah dianggap membuka peluang bagi tumbuh kembangnya sistem multipartai yang berimbas pada sulitnya untuk memunculkan stabilitas politik, juga dengan banyaknya kandidat yang maju dalam pemilihan maka berpotensi mengurangi populisitas dan animo masyarakat untuk mengenal lebih dekat kandidat-kandidat tersebut sehingga visi, misi, dan platform yang ditawarkan kurang mampu dipahami oleh pemilih. Di sisi lain, kandidat lebih memiliki keterikatan dengan partai yang mengusungnya alih-alih mencoba mendapatkan legitimasi politik dari rakyat.

Beberapa kelemahan yang dijumpai dalam sistem distrik dan proporsional memungkinkan beberapa negara di dunia menganut sistem pemilihan campuran. Dalam sistem pemilihan ini, sebagian anggota lembaga perwakilan dipilih melalui sistem distrik, sedangkan sebagian lainnya dipilih melalui sistem pemilihan proporsional. Hal ini jamak dijumpai dalam sistem pemerintahan sebuah negara yang lembaga legislasinya menganut bikameralisme.

Ketentuan mengenai sistem pemilu legislatif diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, khususnya Pasal 168. Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka, demikian Pasal 168 Ayat (2) UU Pemilu. Melalui sistem proporsional terbuka, pemilih bisa langsung memilih calon anggota legislatif (caleg) yang diusung oleh setiap partai politik peserta pemilu. Sistem ini berbeda dengan sistem proporsional tertutup yang hanya memungkinkan pemilih memilih partai politik peserta pemilu. Sementara, anggota legislatif dipilih oleh partai.

Nah, dalam konteks sistem proporsional tertutup Indonesia pernah menggunakan sistem itu sejak era orde baru sampai dengan pemilu 1999 dimana mekanisme pemilihan anggota legislatif berdasarkan nomor urut yang ditentukan oleh internal partai, potensi praktik nepotisme dan diskrimisasi bagi calon yang dianggap lemah secara finansial. Sementara dalam sistem proporsional terbuka digunakan sejak pemilu 2004 sampai dengan pemilu serentak 2019. Kelemahan dalam sistem proporsional terbuka kompetisi antara calon terbuka lebar menyebabkan praktik money politik tidak bisa dihindari.

Kemudian untuk Pemilihan DPD RI  sendiri kita masuk dalam variabel system pemilu lain-lainnya. Lain dengan pemilu DPR dan DPRD yang merupakan bagian dari mekanisme sistem mixed/campuran, pemilu DPD menggunakan sistem single non transferable vote (SNTV) atau sistem distrik berwakil banyak.

Terkait sistem pemilu DPD ini bisa kita lihat dalam catatan Titi Anggraini, Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) dalam Sistem Pemilu Proporsional Terbuka dan Distrik Berwakil Banyak di Indonesia dijelaskan bahwa untuk Pemilu untuk memilih anggota DPD dilaksanakan dengan sistem distrik berwakil banyak,” bunyi Pasal 168 Ayat (3) UU Pemilu. Single non transferable vote merupakan sebuah sistem yang memungkinkan pemilih memberikan satu suara pada calon anggota DPD di suatu daerah pemilihan (dapil) yang berwakil majemuk. “SNTV adalah sebuah sistem di mana pemilih memberikan hanya satu suara berorientasikan kandidat untuk seorang kandidat di daerah pemilihan yang berwakil banyak yang memperebutkan beberapa kursi. Jadi tidak hanya memperebutkan satu kursi, tapi memperebutkan beberapa kursi atau berwakil majemuk, atau multimember constituency.

Melalui SNTV, pemilih memilih satu calon anggota DPD, bukan partai politik. Selanjutnya, di daerah pemilihan itu, akan terpilih beberapa anggota DPD yang mewakili dapil tersebut. Adapun satu dapil pada pemilu DPD merujuk pada suatu provinsi. Artinya, ada 34 dapil di pemilu DPD. Namun, di satu dapil atau provinsi, akan ada 4 orang anggota DPD terpilih. Dengan demikian, total ada 136 anggota DPD di Indonesia.

Kesimpulan

  1. Sistem pemilu yang diterapkan di Indonesia dalam perjalanannya berkembang dan mengalami perubahan-perubahan dari sisi jenis jabatan yang dipilih,
  2. Sistem pemilu di Indonesia sendiri terdapat kelebihan dan kekurangan dalam penerapannya.
  3. Perbedaan sistem pemilu itu diakibatkan oleh banyak hal mulai dari berbedanya sistem kepartaian, kondisi sosial dan politik masyarakat, jumlah penduduk, jenis sistem politik, dan lain sebagainya.

 

Penulis :

Yardi Harun, S.Pd, M.Pd (Ketua Netfid Indonesia Provinsi Sulawesi Utara)

RELATED ARTICLES

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
- Advertisment -spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
- Advertisment -spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
- Advertisment -spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
- Advertisment -spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
- Advertisment -spot_imgspot_imgspot_img

Most Popular

Recent Comments