spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
- Advertisment -spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
- Advertisment -spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
BerandaPemiluResidu Kampanye di Media Massa

Residu Kampanye di Media Massa

DetailNews.id – Melihat Kampanye dalam Pemilu pada dasarnya dianggap sebagai suatu ajang berlangsungnya proses komunikasi politik tertentu, yang sangat tinggi intensitasnya. Ini dikarenakan terutama dalam proses kampanye pemilu, interaksi politik berlangsung dalam tempo yang meningkat. Setiap peserta kampanye berusaha meyakinkan para pemberi suara/konstituen, bahwa kelompok atau golongannya adalah calon-calon yang paling layak untuk memenangkan kedudukan.

Sebagaimana ketentuan Kampanye yang diatur dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (PKPU) Nomor 23 Tahun 2018 memiliki pengertian kegiatan peserta pemilu atau pihak lain yang ditunjuk oleh peserta pemilu untuk meyakinkan pemilih dengan menawarkan visi, misi, program, dan/atau citra diri peserta pemilu.

Selain itu, kampanye yang berkaitan dengan pemilu hingga pilpres merupakan wujud dari pendidikan politik masyarakat yang dilaksanakan secara bertanggung jawab. Selain itu, kampanye juga dimaksudkan untuk meningkatkan partisipasi dalam pemilu. Prinsip-prinsip yang harus diterapkan dalam pelaksanaan kampanye adalah mandiri, jujur, adil, berkepastian hukum, tertib, kepentingan umum, terbuka, proporsional, profesional, akuntabel, efektif, efisien, dan aksesibilitas. Pelaksana kampanye adalah pasangan calon, partai politik, dan/atau gabungan partai politik (koalisi). Sedangkan peserta kampanye adalah seluruh warga Indonesia.

Menurut Pasal 275 UU Nomor 7 Tahun 2017 dan PKPU, ada sembilan metode kampanye pemilu, yakni pertemuan terbatas, pertemuan tatap muka, penyebaran bahan kampanye pemilu kepada umum, pemasangan alat peraga di tempat umum, media sosial, iklan media massa (cetak, elektronik, internet), rapat umum, debat pasangan calon tentang materi kampanye pasangan calon, serta kegiatan lain yang tidak melanggar larangan kampanye pemilu dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dari sejumlah kampanye yang berlangsung selama periodesasi pemilu di Indonesia  ditemukan sejumlah masalah, kita bisa periksa rangkaian panjang Pilpres 2014, Pilgub Jakarta 2017, Pilkada 2018 dan Pemilu 2019 bisa dimaknai sebagai polarisasi. Berdasarkan hasil survei Polmark, sebanyak 5,7% responden merasa bahwa Pilkada DKI Jakarta 2017 telah merusak hubungan pertemanan. Angka ini naik dari survei serupa pada Pipres 2014. Saat itu, sebanyak 4,3% pemilih menganggap pilpres memicu keretakan hubungan pertemanan di masyarakat.

Dalam peristiwa-peristiwa itu, diskursus media sosial mendorong perpecahan dalam masyarakat. Eksesnya kampanye dalam Pemilu 2014 bahkan menyebabkan gesekan serius dalam banyak hubungan keluarga dan pernikahan masyarakat Indonesia. Fenny Listiana, konsultan psikologi klinis di salah satu lembaga psikologi swasta di Surabaya, menerangkan, keretakan sosial diakibatkan pula terpaan hoaks di media sosial yang dikonsumsi secara intensif oleh individu-individu.

Salah satu contoh yang menggambarkan polarisasi Pilpres 2014 adalah editorial The Jakarta Post, yang memuat tajuk editorial mendukung Jokowi dengan alasan “tidak ada yang disebut netralitas ketika taruhannya terlalu tinggi… Jarang sekali satu Pemilu hanya menawarkan pilihan yang terlampau definitif”. The Jakarta Post berpendapat Jokowi “bertekad untuk menolak kolusi antara kekuasaan dan bisnis”, sementara Prabowo “berkubang dalam politik transaksional gaya Orde Baru yang mengkhianati semangat reformasi”.

Kemudian berdasarkan Hasil temuan riset yang dilakukan puskapol UI terkait politik identitas dalam kampanye pemilu 2019 menjadi perhatian serius, bukan saja oleh tim kedua paslon tetapi juga para pemangku kepentingan dalam Pemilu 2019. Pertama, konteks kontestasi saat pilpres saat ini merupakan residu dari tajamnya polarisasi politik dan politisasi isu-isu identitas yang terjadi selama Pilpres 2014 dan Pilgub DKI Jakarta 2017. Dengan kata lain, ada semacam dinamika kontestasi dan polarisasi yang terus dirawat. Kedua, desain elektoral yang menetapkan adanya presidential threshold turut meningkatkan intensitas polarisasi politik, karena secara politis hanya membuka peluang munculnya dua kandidat. Ketiga, fenomena industri konsultan politik, influencer, dan buzzer dalam kampanye digital paslon. Selain berperan penting dalam menentukan produksi isu dan amplifikasi konten kampanye di platform digital, peran mereka juga turut memperburuk polarisasi politik dan politisasi isu-isu identitas. Kita dapat melihat secara nyata setiap isu-isu non-programatik terus direproduksi dan diglorifikasi oleh cyber army masing-masing kubu. Keempat, keserantakan Pemilu 2019 menyebabkan lebih dominannya isu pilpres dan meminggirkan perhatian terhadap Pileg, baik DPR RI, DPD, maupun DPRD Provinsi dan Kab/Kota. Kelima, media sebagai sumber informasi publik justru cenderung memiliki preferensi terhadap isu-isu non programatik dalam pemberitaannya. Dari hasil riset diatas menggambarkan bahwa media massa turut memberikan sumbangsi residu kampanye.

Peran media massa menjadi medium kampanye dengan berbagai macam konsekuensi yang ditimbulkan dan penguatan regulasi terkait kampanye di media massa.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata “Kampanye” memiliki makna “kegiatan yang dilaksanakan oleh organisasi politik atau calon yang bersaing memperebutkan kedudukan dalam parlemen dan sebagainya untuk mendapat dukungan massa pemilih dalam suatu pemungutan suara.”

Namun sebenarnya kampanye memiliki arti yang lebih luas. Dalam KBBI, kata “kampanye” juga berarti “gerakan (tindakan) untuk (melawan, mengadakan aksi, dan sebagainya).” Dalam definisi ini tampak kata tersebut dapat disematkan dalam berbagai ragam kegiatan.

Jika merujuk ke UU Pemilu, kampanye merupakan bagian dari pendidikan politik masyarakat dan dilaksanakan secara bertanggung jawab (Pasal 267). Di pasal yang sama disebutkan bahwa kampanye untuk pemilu legislatif (pileg) dan pemilu presiden (pilpres) dilaksanakan serentak. Mengingat pada 2019, pileg dan pilpres dilaksanakan bersamaan, ini yang membedakan penyelenggaraan kampanye pemilu 2019 dengan pemilu-pemilu sebelumnya.

Setiap memasuki masa pemilu, muncul harapan adanya proses kampanye yang naik kelas. Media massa seharusnya bisa turut mengambil peran penting untuk memberikan literasi politik terkait dengan pemilu, baik melalui pemberitaan, penyiaran, maupun iklan kampanye. Bagi para pengkaji media dan politik, menarik mengamati media di tengah derasnya informasi seputar kampanye.

Ke depan harus ada pemilahan yang jelas antara kampanye di media penyiaran televisi dan radio dengan kampanye di media cetak dan online atau daring. Terdapat perbedaan mendasar di antara jenis-jenis media tersebut. Media penyiaran televisi dan radio menggunakan frekuensi milik publik. Jadi, tak bisa semena-mena digunakan hanya untuk acara atau program salah satu pasangan capres/cawapres maupun partai.

Sementara media cetak dan media daring dari perspektif produksi tidak menggunakan barang publik (public goods) seperti frekuensi di lembaga penyiaran. Meskipun dari sudut penyelenggaraan kampanye, regulasi mengatur di Pasal 291 UU Nomor 7/2017 bahwa media massa cetak, media daring, dan lembaga penyiaran wajib memberikan kesempatan yang sama kepada peserta pemilu dalam pemuatan dan penayangan iklan kampanye.

Di Pasal 292 UU Pemilu disebutkan, media massa, baik cetak, daring, dan penyiaran dilarang menjual blocking segment dan/atau blocking time untuk kampanye pemilu. Ada juga larangan menerima program sponsor dalam format atau segmen apa pun yang dapat dikategorikan sebagai iklan kampanye pemilu. Media massa dilarang menjual spot iklan yang tidak dimanfaatkan oleh salah satu peserta pemilu kepada peserta pemilu yang lain.

Dari aturan di atas, ada yang rancu dan membingungkan misalnya terkait dengan penggunaan istilah blocking segment dan/atau blocking time yang disamakan di semua media, baik untuk cetak, media daring, media sosial, dan lembaga penyiaran. Istilah tersebut sesungguhnya hanya cocok untuk media penyiaran. Terlalu memaksakan diri jika istilah tersebut digunakan untuk media lainnya yang karakternya berbeda, terlebih lagi dengan media sosial yang jelas-jelas tidak termasuk kategori media massa.

Untuk membantu pendidikan politik selama masa kampanye melalui sosialisasi gagasan, program, dan citra diri pasangan capres/cawapres ke khalayak luas, seharusnya kampanye di media massa sudah bisa dimulai sejak ditetapkannya peserta pemilu. Jika pun tetap ada pembatasan kampanye di media massa hanya 21 hari, sebaiknya hanya diperuntukkan media penyiaran. Dengan pertimbangan, frekuensi milik publik agar bisa dijaga dari kepentingan partisan akibat afiliasi politik. Sementara untuk media massa cetak dan media daring,sesungguhnya tidak ada alasan kuat untuk membatasinya hanya 21 hari. Biarkan koran dan daring memasang iklan program, citra diri kandidat, dan lain-lain sejak awal masa kampanye karena pada akhirnya khalayaklah yang menjadi penentu apakah dia akan bertahan mengonsumsi media yang bersangkutan atau beralih ke media lainnya. Jika media massa cetak dan daring over dosis kampanye di isi medianya, publik juga sudah pasti akan meninggalkannya karena tak menemukan kepuasan yang dicari di media yang dibacanya.

Menurut Mc Quail, secara umum media massa memiliki berbagai fungsi bagi khalayaknya yaitu pertama, sebagai pemberi informasi; kedua, pemberian komentar atau interpretasi yang membantu pemahaman makna informasi; ketiga, pembentukan kesepakatan; keempat, korelasi bagian-bagian masyarakat dalam pemberian respon terhadap lingkungan; kelima, transmisi warisan budaya; dan keenam, ekspresi nilai-nilai dan simbol budaya yang diperlukan untuk melestarikan identitas dan kesinambungan masyarakat.

Oleh karena itu media massa seharusnya menjadi sarana pencerahan dan transformasi nilai-nilai kebenaran agar masyarakat dapat melihat secara apa adanya. Media sebaiknya tidak memunculkan kesan yang terlalu menilai atau keberpihakan dalam masa kampanye Pemilu. Seharusnya media menyampaikan informasi yang sebenarnya, jelas hitam putihnya. Sehingga masyarakat tidak terjebak pada pilihan mereka, karena persoalan Pemilu adalah persoalan masa depan bangsa. Media harus mampu bersikap objektif dalam penayangan berita.

Media massa memang punya tanggung jawab politik turut mencerdaskan masyarakat, selain juga melakukan fungsi kontrol sosialnya. Selain peduli terhadap iklan maupun bentuk kampanye lainnya dari para kandidat di media massa, secara kelembagaan media massa harus mempertahankan posisi independennya dalam pemberitaan. Posisi strategisnya, berita media kerap kali menjadi rujukan masyarakat sehingga prinsip-prinsip verifikasi dan imparsialitas sangat penting diutamakan.

Menurut Michael Schudson dalam bukunya The Power of News (1995), berita media massa merupakan bagian dari latar belakang melalui apa masyarakat berpikir. Dia juga menegaskan institusi pembuat berita sebagai aktor sosial ekonomi yang memiliki pengaruh sangat besar. Media adalah sebab terjadinya pendistribusian informasi dengan memilih konsumen yang visible dan terukur.

Begitu pentingnya posisi media sehingga Cater, sebagaimana dikutip Bartholomew H Sparrowdalam bukunya The News Media as A Political Institution Uncertain Guardian (1999), menyebutnya sebagai institusi kekuatan keempat dalam suatu pemerintahan atau The fourth branch of government. Media massa cetak dan media daring harus menyediakan halaman dan waktu yang adil dan berimbang untuk pemuatan berita dan wawancara serta untuk pemasangan iklan kampanye bagi peserta pemilu (Pasal 295 UU Nomor 7/2017).

Sementara di Pasal 296 jelas dan tegas disebutkan bahwa Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) atau Dewan Pers melakukan pengawasan atas pemberitaan, penyiaran, dan iklan kampanye pemilu yang dilakukan oleh lembaga penyiaran atau media massa cetak. Peran KPI dan Dewan Pers harus profesional, independen, dan turut bersama-sama insan media menciptakan isi media berkualitas di saat berlangsungnya masa kampanye.

Keberadaan media massa dalam kampanye sangat penting. Informasi tentang citra politik, program, dan manajemen isu selama masa kampanye nyaris mustahil menafikan keberadaan media. Bahkan, bergaung tidaknya masa kampanye sangat bergantung salah satunya pada pembingkaian berita yang dibuat media, selain perbincangan publik yang melimpah di media sosial. Sayangnya, hingga saat ini masih ada ambiguitas pengaturan media massa dalam kampanye pemilu. Masa kampanye di media massa berlangsung hanya 21 hari, yakni antara 24 Maret hingga 13 April 2019 sebagaimana diatur dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 23 Tahun 2018 yang kemudian direvisi menjadi PKPU Nomor 33 Tahun 2018 tentang Kampanye Pemilu.

Ketika kita menyaksikan berbagai kampanye yang dilakukan di media, baik media cetak maupun media elektronik, kita sedang menyaksikan bentuk dunia politik yang akan direalisasikan setelah para kandidat dalam sebuah pemilu memenangkan kontestasi. Di tanah air, tumbuhnya pemilu sebagai sebuah industri juga kian jelas antara lain dengan munculnya lembaga-lembaga yang menyediakan jasa kampanye, promosi, periklanan ataupun sebagai konsultan dari berbagai tim kampanye partai politik, calon presiden atau calon anggota legislatif.

Oleh karenanya media massa memiliki peranan penting dalam setiap pemilu. Tetapi menggelembungnya belanja iklan di tanah air juga merupakan masalah. Banyak yang menyetujui adanya pembatasan kampanye politik media yang berupa iklan. Media massa dengan sifatnya yang masif dapat dimanfaatkan untuk pencitraan. Media massa merupakan alat pembentukan opini publik karena frekuensi dan grekuensinya masif. Media massa merupakan wahana komunikasi yang menembus batas ruang dan waktu. Untuk itu media massa merupakan salah satu alat kampanye yang berpengaruh menentukan kemenangan kandidat.

Kesimpulan

Bahwa dalam perjalanan periodesasi pemilu media massa memberikan sumbangsih besar residu dari tajamnya polarisasi politik dan politisasi isu-isu identitas. Kemudian masih adanya multitafsir regulasi yang mengatur kampanye di media massa.

 

Oleh :

Yardi Harun, S.Pd, M.Pd (Ketua Netfid Indonesia Provinsi Sulawesi Utara)

RELATED ARTICLES

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
- Advertisment -spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
- Advertisment -spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
- Advertisment -spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
- Advertisment -spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
- Advertisment -spot_imgspot_imgspot_img

Most Popular

Recent Comments