DetailNews.id – Komunitas Jaringan Gusdurian Bolaang Mongondow Selatan (Bolsel), Sulawesi Utara (Sulut) menggelar forum17an yang membincang gagasan KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Nurcholish Madjid (Cak Nur) dan Ahmad Safii Maarif (Buya Syafii), Senin (15/8/2022).
Forum17an yang digelar di Kedai Kampoeng Bolango, Desa Popodu, Kecamatan Bolaang Uki, tersebut menghadirkan tiga narasumber di antaranya Ketua IKA PMII Bolsel, Ahmadi Modeong; Koordinator MD KAHMI Bolsel, Abidin Patilima dan Ketua Pemuda Muhammadiyah Bolsel, Delfian Thanta.
Ketua IKA PMII Bolsel, Ahmadi Modeong, mengatakan Gus Dur dinilai oleh kelompok-kelompok minoritas tertentu sebagai sosok pahlawan, utamanya minoritas agama. Hal ini bisa dilihat bagaimana pembelaannya terhadap etnis Tionghoa yang belakangan agama mereka, Konghucu mendapatkan tempat di Indonesia.
“Bagi Gus Dur semua perbedaan-perbedaan ini, termasuk perbedaan agama merupakan keniscayaan di tengah bangsa Indonesia yang sangat mejemuk,” ujar Ahmadi.
Ahmadi menuturkan, sebagian orang lain bisa saja menganggap Gus Dur selalu bersikap kontroversi, akan tetapi semua yang dilakukan cucu pendiri Nahdlatul Ulama (NU) itu semata-mata menempatkan setiap anak bangsa memiliki hak yang sama di muka negara.
“Ketika kita bersepakat mendirikan bangsa yang bernama Indonesia ini oleh Gus Dur harus diberikan hak-hak dia sebagai warga negara. Sebagaimana tertuang dalam konstitusi kita. Siapapun dia. Baik berbeda agama, suku, ras dan lain sebagainya,” ujarnya.
Sedangkan menurut Koordinator MD KAHMI Bolsel, Abidin Patilima, perihal diskusi yang digelar Gusdurian Bolsel dengan mengangkat tiga tokoh bangsa ini merupakan sesuatu hal sudah semestinya ditradisikan di daerah tersebut.
“Tiga tokoh bangsa, baik Gus Dur, Cak Nur, dan Buya Safii semasa hidupnya telah menanamkan nilai-nilai ke-islaman dan ke-indonesiaan yang tidak kemudian melepaskan konteks Indonesia,” kata Abidin.
Sehingga, katanya, dengan kehadiran Gusdurian Bolsel menjadi sesuatu hal wajib dan perlu di tengah-tengah gempuran arus modernisasi, baik mereka yang dilabeli ekstrim kanan maupun yang menyebut dirinya kaum liberal.
“Dalam 5-10 tahun ke depan Bolsel akan semakin maju. Di tengah-tengah kemajuan ini, tentu di sisi lain akan sengat membahayakan jika kita sendiri tidak mampu mengelolanya dengan bijaksana,” katanya.
Sementara menurut narasumber ketiga, Ketua Pemuda Muhammadiyah Bolsel, Delfian Thanta, sosok Ahmad Safii Maarif atau Buya Syafii merupakan intelektual Muhammadiyah yang hingga akhir hayatnya terus konsisten mendakwahkan Islam yang ramah terhadap sesama manusia, Islam yang mencintai Indonesia.
Pandangan Buya Syafii ini, kata Delfian, merupakan pengejawantahan daripada sifat-sifat Allah SWT sebagaimana yang tertuang di dalam Al-Qur’an.
“Misalnya nilai-nilai di dalam Al-Qur’an, seperti persamaan, keadilan, menghargai perbedaan dan lain sebagainya,” ujarnya.
Delfian menambahkan, meski Buya Syafii merupakan sosok intelektual muslim yang telah banyak menyumbang ide untuk bangsa Indonesia — utamanya mereka yang beragama Islam — akan tetapi dirinya sangat menentang adanya pikiran dari kelompok-kelompok ekstrimis yang ingin mendirikan negara Islam di Indonesia.
“Sebab tidak cocok dengan konteks Ke-Indonesiaan. Dan bahkan tidak ada di dalam Al-Qur’an secara tegas bahwa ada sistem negara khilafah,” tandasnya.(*)