Kejayaan dan Kebesaran Nusantara
Oleh Atara Mamonto
DetailNews.id – Indonesia secara geografis adalah negara yang dilintasi garis katulistiwa, Indonesia berada di antara benua Asia dan benua Australia serta terletak di antara samudra Pasifik dan Hindia. Indonesia dahulu disebut sebagai Nusantara yang terdiri dari kepulauan terbesar didunia dan memiliki banyak kerajaan-kerajaan besar yang menjadi pusat-pusat peradaban pada waktu itu, seperti halnya kerajaan kalingga, mataram, sriwijaya, majapahit dan lain sebagainya.
Kebesaran kerajaaan Nusantara pada saat itu terbukti dengan kejayaan- kejayaan yang akhirnya mengantarkan Nusantara menjadi negara besar, dengan ciri khasnya sebagai negara maritim. Seperti halnya kerajaan kalingga dengan kebesarannya yang mampu menjadi pemrakarsa konsolidasi dikerajaan-kerajaan nusantara serta mampu membuat 172 pasal hukum perdata, dan kerajaan mataram yang mampu menyatukan daerah- daerah di pulau jawa hingga madura, serta sriwijaya yang pernah menjadi pusat pengetahuan dan pengembangan agama budha, serta kerajaan majapahit yang menjadi icon kebesaran Nusantara, yang mampu mempersatukan nusantara dengan sumpah palapanya oleh patih gajah mada, dan mampu menguasai sepertiga dunia.
Tidak menutup kemungkinan bahwa kerajaan- kerajaan kecil juga mampu menjadi icon kebesaran Nusantara, seperti halnya Kerajaan Malaka, Demak dan lain sebagainya yang letak daerah kekuasaanya tidak sebesar Kerajaan- kerajaan besar yang pernah ada, namun mampu menjadi negara yang maju dengan ciri khas yang di tonjolkan masing- masing kerajaan. Kerajaan Malaka yang pada masa itu secara geografis terletak pada lini- lini strategis jalur perdagangan, mampu memanfaatkan jalur perdagangan yang melewati perairan malaka dengan membuka pelabuhan yang menjadi persinggahan kapal-kapal ekspedisi milik asing. Serta kerajaan demak yang menjadi penerus tahta dari kerajaan majapahit, yang mampu menguasai wilayah jawa dan Madura. Serta banyak kerajaan- kerajaan lainya baik yang bersifat Maritim maupun Agraris dengan banyak masa ke emasannya.
Faktor Masuknya Imperialisme
Pada tahun 1350-1389 ketika kerajaan Majapahit yang di pimpin oleh Hayam wuruk serta patihnya yang bernama mahapatih Gajah Mada, Majapahit mencapai puncak kejayaan dengan keberhasilanya mempersatukan Nusantara yang wilayahnya mencakup sepertiga dunia. Setelah kepemimpinan Hayam Wuruk selesai dan di gantikan oleh Wikramawardana, keadaan di internal kerajaan mengalami pergolakan politik, dengan adanya kecemburuan di salah satu keturunan majapahit hingga akhirnya terjadi perang untuk memperebutkan tahta di Majapahit. Pergolakan yang terjadi di tubuh majapahit menjadi akar dari runtuhnya majapahit, diawali dengan terjadinya perang Paregreg pada tahun 1401-1409 (perang setahap demi setahap dalam tempo lambat). Perang tersebut bermula dari usaha Bhre Wirabhumi yang ingin merebut takhta Majapahit. Setelah kekalahan Bhre Wirabhumi, Wikramawardhana memboyong Bhre Daha, putri bhre Wirabhumi sebagai selir. Dari perkawinan itu lahir Suhita yang naik takhta tahun 1427 menggantikan Wikramawadhana.
Akibat dari perang ini selain menjadi akar bagi perang-perang selanjutnya, banyak daerah luar Jawa yang lepas dari kekuasaan Majapahit seperti daerah Palembang, Melayu dan Malaka yang tumbuh subur sebagai bandar-bandar perdagangan ramai yang merdeka dari Majapahit.
Pada masa kekuasaan Suhita Majapahit diramalkan bakal mengalami guncangan. Karena selain ia tidak punya keturunan, kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan semakin merugikan Majapahit. Orang-orang yang pada masa kekuasaan Wikramawardhana selalu berhasil menumpas pemberontakan tiba-tiba disingkirkan. Seperti Aryo Damar yang disingkirkan ke Palembang, Bhre Narapati alias Raden Gajah dihukum mati, mahapatih Kanaka yang berwawasan luas tiba-tiba dipensiunkan. Hal ini semakin mengeroposkan Majapahit karena orang-orang tersebut merupakan pilar-pilar bagi kokohnya Majapahit, sehingga perang memperebutkan kekuasaan dalam masa-masa selanjutnya tak pernah berhenti hingga akhirnya Majapahit terpecah-pecah menjadi kadipaten-kadipaten dan gurem-gurem kecil. Kerajaan-kerajaan yang muncul pasca Majapahit kehilangan taring khas bangsa maritim dan bergeser menjadi kerajaan-kerajaan yang berpusat di pedalaman.
Pada waktu yang hampir bersamaan kekalahan Eropa yang lebih di kenal sebagai bangsa Romawi dalam perang salib menyebabkan konstantinopel jatuh ketangan Islam yang berimbas dengan diberlakukannya kebijakan-kebijakan yang menyulitkan perdangangan Eropa hingga jatuh dalam krisis perdagangan. Kebijakan-kebijakan tersebut selain menutup akses perdagangan dari Asia juga mengakibatkan Eropa megalami krisis rempah-rempah dan pasokan kebutuhan-kebutuhan lain dari Asia sebagai sumber kalori yang harus terpenuhi untuk melangsungkan hidup selama musim dingin. Hal itu menuntut bangsa-bangsa Eropa untuk melakukan pemenuhan kebutuhan rempah-rempah.
Misi-misi pelayaran yang menjadi jalan keluar didukung dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di Eropa seperti ilmu geografi dan navigasi. Disisi lain semangat Renaissance abad XV memberikan spirit baru bagi Eropa untuk bangkit dari keterpurukan ekonomi. Pada abad XV Paus Alexander mengeluarkan Keputusan suci Edit of Demarcation yang melegitimasi bangsa-bangsa Eropa melakukan ekspedisi pelayaran. Keputusan suci tersebut akhirnya disikapi oleh Portugis dan Spanyol yang kemudian menjadikan kedua Negara tersebut sebagai bangsa pemrakarsa pelayaran di Eropa. Perjanjian Tordesillas menjadi penegas karena memuat pembagian wilayah secara geografis dimana Portugis menguasai wilayah yang bukan Kristen dari 100 mil di sebelah barat Semenanjung Verde, terus ke timur melalui Goa di India, hingga kepulauan rempah-rempah Maluku. Sisanya (kecuali Eropa) dikuasai Spanyol.
Imperialisme Portugis
Pada tahun 1478 keadaan Nusantara sudah berubah secara sosio-politik maupun sosio-kultural. Hal itu terjadi seiring berdirinya kerajaan Demak sebagai kerajaan Islam yang berbeda dengan kerajaan-kerajaan hindu-budha sebelumnya. Demak Menjadi kerajaan penerus majapahit ditandai dengan dipindahnya pusaka-pusaka majapahit ke demak.
Di sisi lain Portugis sedang merintis pelayaran pencarian jalur perdagangan rempah-rempah. Hal itu dilakukan dengan tujuan memotong jalur rempah-rempah dari Asia setelah jalur darat di Turki dan jalur laut Mediterania dikuasai oleh Islam. Pada tahun 1478 pelayaran pertama dibawah pimpinan Bartolomeu Diaz mampu mencapai tanjung Harapan, dan dilanjutkan Vasco da Gama yang mampu menemukan wilayah India sebagai pasar terbesar di Asia. Disinilah terjadi interaksi antara pelaut-pelaut Nusantara dengan bangsa Portugis. Alvonso de Albruquerque yang memimpin pelayaran selanjutnya membawa Portugis pada posisi yang berbeda. Karena barang dagang Portugis tak mampu bersaing di pasaran Asia sehingga mengambil keputusan bahwa penaklukan merupakan satu-satunya jalan untuk mendapatkan rempah-rempah. Langkah portugis untuk menemukan pulau rempah-rempah dimulai ketika pihak Portugis mendengar laporan-laporan pertama dari para pedagang asia mengenai kekayaan Malaka yang sangat besar, maka Raja portugis mengutus Diego Lopes De Sequeira, untuk menemukan malaka, dan menjalin hubungan persahabatan dengan penguasanya, serta menetap disana sebagai wakil portugis di sebelah timur india.
Pada tahun 1511 dibawah pimpinan Alfonso de Albruquerque melalui Malaka yang pada waktu itu di pimpin oleh Sultan Mahmud Syah, Portugis masuk ke Nusantara dengan membawa 1200 pasukan dan 18 kapal. Pada waktu itu di Jawa, kerajaan Demak mengetahui keberadaan bangsa Portugis di Malaka. Selain karena Demak merupakan pewaris dari Majapahit juga posisi penting Malaka sebagai gerbang yang menghubungkan Nusantara dengan bangsa-bangsa lain, maka dibawah pimpinan Pati Unus yang saat itu naik takhta menggantikan raden Fatah, pada tahun 1512 dan 1521 Demak mengirim armada gabungan Jepara-Cirebon untuk mengusir Portugis. Akan tetapi alat-alat serta strategi perang Demak tak kuasa menahan gempuran meriam Portugis, dan akhirnya adipati Unus gugur dalam pertempuran tersebut. Kekalahan adipati Unus di Malaka menjadikan trauma tersendiri bagi raja-raja Jawa atas laut. Berakhirlah peran dominan kerajaan-kerajan pantai dalam politik Jawa selanjutnya.
Setelah Portugis menguasai Malaka, dua orang Petualang Portugis, Antonio De Albreu dan Francisco Serrao melakukan pelayaran menuju Maluku dan singgah di Sunda Kelapa. Akan tetapi pada tahun 1527, sebagai pengganti adipati Unus, Sultan Trenggono mengutus Fatahillah untuk merebut pelabuhan Sunda Kelapa setelah mendengar perjanjian antara Portugis dan Sunda (1526). Fatahillah merubah nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta setelah menaklukan orang-orang Portugis.
Dengan bantuan nahkoda Jawa, Portugis sampai di Maluku yang menjadi pusat rempah-rempah dan melakukan persekutuan dengan kerajaan Ternate. Pada tahun 1522 mulai membangun benteng disana. Pada saat yang sama Spanyol ikut berlayar ke Maluku dibawah pimpinan Ferdinand Magellan dan memborong rempah-rempah dari penduduk. Perebutan dagang Portugis dan Spanyol tidak dapat dielakan lagi. Dengan perjanjian Zaragoza disepakati bahwa Spanyol harus meninggalkan kepulauan Maluku, sejak itu Portugis membangun gudang-gudang untuk menyimpan rempah-rempah yang di borong dari penduduk.
Selain memonopoli rempah-rempah, Sesuai dengan misi 3G (Gold Glory Gospell) Portugis juga melakukan kristenisasi dengan mengirim seorang misionaris bernama Fransisco Xavier. Dimana proses tersebut menjadi pemicu ketegangan antara Portugis dan Ternate. Pada tahun 1570 Sultan Hairun dibunuh portugis di benteng Duurstel kemudian digantikan sultan Baabullah. Pada akhirnya Portugis mengalihkan pusat kekuasaanya di Ambon dan Timur Portugis karena dibawah pemerintahan sultan Baabullah Ternate menjadi sebuah negara berkembang yang gigih menganut Islam dan anti Portugis. Pada akhirnya kepentingan Portugis di Timur bergeser ke daerah-daerah lain dengan membuka hubungan perdagangan dengan Jepang dan China hingga akhirnya perdagangan Portugis dialihkan ke gula Brazil dan Perbudakan Afrika.
Kolonialisme Belanda
Terbebasnya Belanda dari penjajahan Spanyol pada tahun 1648 membawa perubahan besar bagi keadaan Belanda selanjutnya. Orang-orang Belanda yang menjadi perantara rempah-rempah dari Portugis ke Eropa bagian utara ketika 1580 tahta Portugis dan Spanyol bersatu dalam gerak rempah-rempah tersebut kacau yang kemudian memunculkan keinginan Belanda untuk mencari sumber rempah-rempah sendiri. Disisi lain perang kemerdekaan Belanda-Spanyol berakibat terjadinya perpindahan penduduk, dimana perang agama zaman reformasi mengakibatkan Belanda berubah menjadi masyrakat Calvinis/Protestan.
Situasi politik di Jawa pada masa ini juga mengalami perubahan yang luar biasa, dimana Demak sudah digantikan Pajang dibawah kekuasaan Sultan Hadiwijaya (Joko Tingkir). Perubahan ini membuat posisi kerajaan semakin ke pedalaman yang otomatis keluputan akan hal-hal yang terjadi di Luar semakin besar.
Portugis berusaha marahasiakan rincian-rincian jalur pelayaran ke Asia. Akan tetapi ada orang-orang Belanda yang bekerja untuk mereka yang kemudian pada tahun 1595, Jan Huygen van Linschoten menuliskan catatan yang berjudul Intinerario naer Oost ofte Portugaels Indien (Catatan Perjalanan ke Timur atau Hindia Portugis) yang memuat peta-peta dan deskripsi-deskripsi yang rinci mengenai penemuan-penemuan Portugis dan juga informasi-informasi tentang kekayaan-kekayaan Asia yang melimpah ruah serta persoalan-persoalan yang dihadapi Portugis. Sehingga pada tahun 1595 Belanda pertamakali datang ke Nusantara melalui Banten yang pada saat itu menjadi pelabuhan lada terbesar di Jawa Barat dibawah pimpinan Cornelis de Houtman dengan 4 kapal bersama 249 awak kapal dan 64 pucuk meriam. Belanda datang dengan membawa persenjataan, kapal-kapal, serta dukungan keuangan yang lebih baik. Belanda langsung disambut dengan konflik, baik dengan orang Portugis maupun pribumi. Karena kepemimpinan De Houtman yang kurang cakap menyebabkan banyak perselisihan di dalam ekspedisi tersebut. Pada tahun 1597 sisa-sisa ekspedisi tersebut kembali ke negeri Belanda dengan membawa cukup banyak rempah-rempah yang menunjukkan bahwa mereka mendapat keuntungan dan mendapat sambutan oleh saudagar-saudagar Belanda dan berlomba-lomba untuk mendirikan serikat dagang kecil-kecil guna mengambil rempah-rempah ke Hindia.
Tahun 1598 ekspedisi Belanda yang kedua sampai di Maluku yang dipimpin Jacob van Neck dan berhasil melakukan komunikasi dagang. Masa itu dikenal sebagai masa pelayaran-pelayaran liar (wilde vaart), yaitu ketika perusahaan-perusahaan ekspedisi Belanda saling bersaing untuk memperoleh bagian dari rempah-rempah Hindia. Selain itu pelaut-pelaut Inggris juga sudah mencapai hindia dan mengancam dominasi Belanda. Sehingga pada tahun 1602 didirikanlah Vereeningde Oost-Indische Compagnie (VOC) yang deketuai J.P Coen sebagai jalan tengah yang ditempuh kerajaan Belanda untuk mengamankan wilayah nusantara dari pelaut-pelaut Eropa lainnya dan meredam persaingan tidak sehat yang terjadi antar perusahaan. Serikat-serikat kecil yang dibuat saudagar-saudagar Belanda bubar dan bergabung dengan VOC. Sejak saat itu VOC mulai menampakkan wataknya sebagai penjajah dengan melakukan monopoli terhadap perdagangan, terutama rempah-rempah. Karena pada dasarnya kekuatan VOC didukung dengan hak octroi (dalam hal ini VOC diperbolehkan menggunakan angkatan perang, melakukan penaklukan, dan memiliki mata uang) yang diberikan Kerajaan. Pada tahun 1619 VOC menaklukkan Jayakarta dan mengganti nama menjadi Batavia yang selanjutnya menjadi markas besar VOC.
Jadi, pada abad XVII- XVIII Hindia tidak dikuasai secara langsung oleh pemerintah Belanda namun oleh perusahaan dagang bernama VOC yang telah diberikan hak monopoli terhadap perdagangan dan aktivitas kolonial di wilayah ini oleh Parlemen Belanda sejak tahun 1602. Dengan kekuasaan yang besar, VOC akhirnya menjadi “negara dalam negara” Karena VOC di legalkan oleh Ratu Belanda untuk membuat peraturan sendiri, dan dilegalkan untuk membuat mata uang sendiri dan membuat pangkalan militer sendiri. VOC juga mendapat hak- hak pelegalan untuk melakukan ekspansi ke berbagai wilayah di Nusantara, dan dengan itu pula mulai dari masa Jan Pieterszoon Coen (1619-1623, 1627-1629) sampai masa Cornelis Speelman (1681-1684) menjadi Gubernur Jenderal VOC, kota-kota dagang di Nusantara yang menjadi pusat perdagangan rempah-rempah berhasil dikuasai. Ambon dikuasai tahun 1630. Beberapa kota pelabuhan di Pulau Jawa baru diserahkan Mataram kepada VOC antara tahun 1677-1705. Sementara di daerah pedalaman, raja-raja dan para bupati masih tetap berkuasa penuh. Peranan mereka hanya sebatas menjadi tusschen personen (perantara) penguasa VOC dan rakyat.
Perlawanan demi perlawanan terus menerus dilakukan untuk kembali merebut kemerdekaan wilayah masing-masing. Di antaranya penyerangan Mataram ke Batavia yang di pimpin oleh Sultan Agung pada tahun 1628-1629 yang pada akhirnya Mataram mengalami kekalahan dikarenakan ambisi Sultan Agung tak sebanding dengan kekuatan militer dan logistiknya. Perang Makassar yang dipimpin oleh Sultan Hasanuddin yang kemudian berakhir dengan menempuh jalan damai dengan ditandatanginya perjanjian Bungaya (18 November 1667). 1656 perang Banten meletus dibawah pimpinan Sultan Ageng Tirtayasa, pada 1676 Trunojoyo membrontak dipesisir utara Jawa tepatnya di Jepara. 1676 Amangkurat II melakukan perjanjian Jepara dengan VOC, dimana jika VOC berhasil membantu mengalahkan Trunojoyo maka VOC diberi hadiah pesisir utara. Namun akhirnya VOC bangkrut diakibatkan oleh bobroknya internal VOC sendiri karena utang dan korupsi serta perang, sehingga VOC bubar pada tahun 1802, kemudian pemerintah Belanda mengambil alih pengolahan daerah jajahan.
Pasca runtuhnya VOC Pada awal abad IX, terjadi perubahan politik di Belanda dimana Raja Louis diturunkan oleh kakaknya yang juga Raja Perancis, Napoleon Bonaparte III karena membuka Bandar lautnya untuk berdagang netral sehingga Inggris bisa masuk (pada waktu itu, status Belanda hanyalah salah satu provinsi Perancis). Padahal Perancis sedang menggalang kekuatan bangsa Eropa daratan untuk menutup akses Inggris. Pada awal tahun 1808, Belanda yang dibawah kekuasaan perancis mengirim Gubernur jenderal bernama Herman Willem Daendels ke Banten. Masa pemerintahan Daendels rakyat mengalami penderitaan yang tak kentara, karena pembangunan jawa sebagai pertahanan perancis di wilayah asia. Diantaranya ketika ketika penduduk pribumi harus mengorbankan nyawa dalam pembangunan jalan raya pos dari Anyer sampai Panarukan.
Jatuhnya pangkalan utama Prancis di Mauritius pada pihak inggris dan di lanjutkan merebut jantung jajahan belanda yaitu jawa. Hal itu terjadi sebagai dampak dari perang Eropa mengingat posisi Belanda harus mendapat pengamanan atas ekspansi Perancis. Maka setelah perjanjian Kew pada 1811 Inggris menguasai Hindia Belanda dibawah pimpinan Thomas Stamford Rafles yang kelak menulis buku fenomenal The History of Java, namun kekuasaan itu tidak lama karena pada 1816 Inggris takluk oleh Perancis dan melalui konfrensi London, Hindia Belanda di kembalikan kepada kerajaan Belanda.
Selama satu abad ini, Hindia Belanda berusaha melakukan konsolidasi kekuasaannya dari Sabang sampai Merauke. Namun, tentu saja tidak mudah. Berbagai perang melawan kolonialisme muncul seperti Perang Aceh (1873-1907), Perang di Jambi (1833-1907), Perang di Lampung (1834-1856), Perang di Lombok (1843-1894), Perang Puputan di Bali (1846-1908), Perang di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah (1852-1908), Perlawanan di Sumatra Utara (1872-1904), Perang di Tanah Batak (1878-1907), dan Perang Aceh (1873-1912). Namun perjuangan-perjuangan yang dilakukan selalu mengalami kegagalan.
Kekalahan dan kegagalan perlawanan tersebut sebagian besar disebabkan oleh politik adu domba yang di lakukan Belanda atau sering disebut devide et empera. Pada tahun 1755 M belanda melakukan politisi dengan membuat perjanjian Gianti yang isinya membelah mataram menjadi 2,yaitu: Yogyakarta dan Surakarta. Belanda juga selalu melakukan intervensi terhadap kebijakan-kebijakan kerajaan. Alasan-alasan itulah yang membuat pangeran Diponegoro menjadi lokomatif, rakyat Jawa menyerang belanda dari tahun 1825 sampai 1830 dan sering di sebut dengan perang Jawa. Pada waktu yang hampir bersamaan tuanku Imam Bonjol bersama rakyat padang memberi pukulan telak pada belanda pada tahun 1821-1837 dan dikenal dengan perang padri. Imbas dari peperangan tersebut, kas belanda mengalami devisit, sehingga untuk menutup kebrangkutan itu pada tahun 1830 raja Belanda menyetujui usulan Van den Bosch maka ditetapkanlah kebijakan cultur stelsel (tanam paksa) yang dalam kurun waktu kurang lebih 10 tahun mampu mengembalikan stabilitas perokonomian Belanda.
Keberhasilan Belanda dalam mengembalikan keadaan ekonomi menimbulkan berbagai penderitaan di berbagai tempat. Keadaan tersebut mendapatkan banyak kritikan sebagaimana yang dilontarkan Eduard Douwes Dekker dalam karyanya Multatuli. Pada masa itu juga muncul gerakan liberal yang kemudian mendorong Belanda merubah kebijakan untuk memperbaiki kehidupan tanah jajahan. Salah satu dampak dari konstitusi liberal ialah Liberalisasi ekonomi yang berimplikasi pada diberlakukannya undang-undang agrarian di Hindia pada 1870 yang memperbolehkan penyewaan tanah kepada pihak swasta sampai dengan 75 tahun.
Undang-undang agrarian membuka Hindia bagi perusahaan-perusahaan swasta. Hal itu didukung dengan dibukanya terusan Suez pada 1869 dan perkembangan teknologi kapal uap. Dampak dari keadaan tersebut ialah masuknya arus modal besar dan tumbuhnya industri perkebunan skala besar, dan sebagai akibatnya muncul kebutuhan infrastruktur yang mendukung kerja perkebunan seperti kereta dan pelabuhan. Itulah titik awal masuknya kapitalisasi terhadap beberapa daerah di Jawa dan Sumatra.
Dengan adanya undang-undang ini keadan pedesaan sangat berubah karena lahan semakin minim dan tanah disewakan.