DetailNews.id – Bagaimana Urgensi Agama Dalam Menjawab Krisis Ekologi Dan Kepunahan Homo Sapiens?
Oleh : Rusmin Hasan
( Pegiat Literasi Sulut )
Dari tahun ke tahun data tentang kerusakan lingkungan mengalami kenaikan drastis. Kerusakan lingkungan menjadi isu sentral abad 21 ini, yang dirasakan oleh seluruh negara di dunia. Isu ini membuat para pakar ekologi dan bidang ilmu lainnya mulai bekerja sama dalam merumuskan penanganannya. Berbagai penelitian dan kajian yang membahas seputar faktor penyebab dan bagaimana menanggulangi serta mengurangi berbagai dampak kerusakan lingkungan yang kian hari semakin mengkhawatirkan bagi kelangsungan kehidupan makhluk hidup, masih terus dikembangkan. Banyak organisasi internasional maupun nasional yang telah melakukan riset dan tindakan konservasi lingkungan, seperti WALHI, IPCC, WWF, dan Green Peace. Tentu tujuannya juga bersifat persuasif agar masyarakat dunia senantiasa menjaga lingkungannya. Sebab kerusakan lingkungan yang terjadi adalah akibat dari aktifitas manusia.
Salah satu penelitian dalam jurnal Kanz Philosophia mengatakan bahwa banyak oknum pelaku bisnis yang melegalkan kepentingan bisnis yang berdampak pada kerusakan lingkungan dengan alih-alih legitimasi kitab suci. Kitab suci, atau agama, sering dijadikan pedoman paradigma yang antroposentris, dimana manusia menganggap dirinya sebagai pusat sehingga berhak semena-mena dalam memanfaatkan sumber daya alam. Tidak dapat dipungkiri, bahwa agama banyak mempengaruhi kehidupan manusia. Penelitian yang dilakukan oleh Center for International Earth Science Information Network and the Columbia Aging Center dalam Journal of Religion and Demography memperlihatkan hubungan lingkungan dan agama dengan menganalisa afiliasi agama bersama dengan berbagai indikator terkait lingkungan dan perubahan iklim di tingkat negara. Penelitian pun dilakukan untuk menganalisa statistik eksplorasi dan deskriptif untuk lebih memahami hubungan antara agama di satu sisi, dan pembangunan ekonomi, emisi gas rumah kaca, dan lain-lain di sisi lain.
Dalam penelitian tersebut ditemukan bahwa negara-negara yang penduduknya kurang religius cenderung menggunakan lebih banyak sumber daya dan menghasilkan lebih banyak emisi; namun, mereka juga lebih siap untuk menghadapi tantangan lingkungan yang ditimbulkan, karena mereka lebih mapan dari segi ekonomi. Di sisi lain, negara-negara yang populasinya lebih religius cenderung menggunakan lebih sedikit sumber daya; namun pada saat yang sama, mereka memiliki kapasitas yang lebih rendah untuk memenuhi tantangan lingkungan, dan mengalami hasil yang lebih buruk, sebagian karena tingginya tingkat kemiskinan dan pertumbuhan penduduk yang berkelanjutan.
Dampak kerusakan lingkungan telah telah lama dirasakan pendudukan belahan dunia. Tak hanya negara maju, negara berkembang dan miskin pun ikut merasakan hal serupa. Termasuk, Indonesia. Bangsa kita konon, dikenal sebagai sala satu negara dengan dengan sumber daya alam terbesar didunia memegang peranan penting dalam pelestarikan sumber daya alam dan kesimbangan lingkungan dibumi.
Namun,Tragisnya situasi kondisi alam kita dilain sisi juga mengalami kerusakan alam sangat massif dan sistematis, ditandai dengan pencemaran lingkungan, kerusakan biodata laut, penebangan pohon sembarangan, krisis ruang hidup masyarakat, masuknya investasi pertambangan yang semakin masif dan pada kepunahan sapien, sampai pada level ekspolitatif manusia diakibatkan pada dominasi kapitalisme yang bercorak neoliberalisme yang menguasi seluruh aspek kehidupan peradaban manusia didalam kelansung hidup.
Adanya ancaman bangsa ini, akan datangnya bahaya dan banana krisis ekologi ini, dianalisis secara sosiologis akan melululantahkan peradaban umat manusia atas ulah kerakahan manusia sendiri. Hal ini, harus menjadi pemantik kritis bagi segenap manusia yang berfikir untuk mencari jalan alternatif menyelamatkan ekosistem sebagai satu kesatuan integral keberansung hidup manusia dengan alam semesta.
Potret ril kian hari ini, Indonesia mengalami darurat ekologis ditandai musim hujan diprediksi periode 2021 dengan curah hujan 96% dibeberapa daerah dengan kadar curah hujan menengah hingga tinggi ( 200-500 ) mm per-bulan rilis Koran Tempo, dari BMKB 22 maret 2021 kemarin, terbukti pekan kemarin banjir besar.
Bangsa yang mayoritas penduduknya religius mungkin akan berbeda ketika negaranya sudah berkembang secara ekonomi dan teknologi. Ini menandakan bahwa keyakinan, nilai, dan cara pandang agama memainkan peran yang kuat di masa yang akan datang. Penelitian yang dilakukan oleh Center for International Earth Science Information Network and the Columbia Aging Center menemukan bahwa afiliasi agama berkaitan dengan emisi gas rumah kaca, penggunaan energi, dan produk domestic bruto (PDB) dalam skala global. Negara dengan emisi yang lebih banyak dan PDB lebih besar cenderung kurang religius, memiliki pertumbuhan penduduk yang lebih sedikit, dan lebih siap menghadapi tantangan lingkungan. Sebaliknya, negara-negara dengan afiliasi agama yang lebih besar cenderung memiliki populasi yang lebih muda, resiko lingkungan yang lebih tinggi, PDB yang lebih rendah, dan tingkat kesiapsiagaan yang juga lebih rendah. Penelitian tersebut memperkirakan bahwa populasi dunia yang berafiliasi pada agama akan meningkat, dari 84% pada tahun 2010 menjadi 87% pada tahun 2050.
Percentage of population with a religious affiliation, 2010.
Agama memiliki peran yang vital terhadap kebijakan lingkungan. Agama dapat mempengaruhi kebijakan mana yang paling efektif, yakni melalui etika lingkungan religius, di mana tradisi agama yang berbeda berkontribusi dalam mengubah cara pandang masyarakat dalam menyikapi masalah-masalah lingkungan. Mungkin sekali etika lingkungan yang religius akan mendapat perhatian yang semakin besar. Maka dari itu, interpretasi atas ajaran agama perlu dikontekstualisasikan dengan kebutuhan zaman. Selain itu, perlu diidentifikasi cara efektif untuk mengkomunikasikan masalah dan resiko lingkungan dalam tradisi agama, dan mendorong kolaborasi antaragama dan agama-nonagama, dengan tujuan bersama untuk mengatasi lingkungan global di masa depan.